Dana Pencegahan Karhutla Menguap, Aktivis Lingkungan Minta Usut Instansi yang Bertanggungjawab!

Kebakaran lahan gambut di OKI/Foto:RMOL
Kebakaran lahan gambut di OKI/Foto:RMOL

Pencegahan dan penanganan Karhutla menjadi penting ketika memberikan dampak negatif yang signifikan. Tidak hanya bagi Sumsel, tapi juga kabut asap ini dirasakan di provinsi lain, bahkan negara lain.  


Ada perbedaan yang tegas antara pencegahan dan penanggulangan. Pencegahan bermakna upaya untuk mencegah terjadinya karhutla, dilakukan sebelum karhutla terjadi untuk mengurangi resiko yang mungkin muncul. Kegiatan terkait pencegahan ini dapat berupa, sosialisasi, edukasi, patroli, serta pembangunan infrastruktur pendukung pencegahan. 

Sejumlah instansi menjadi leading sector dari proses ini, mulai dari pusat dan daerah. Seperti Kementerian LHK, Pemprov Sumsel melalui Dinas LHP, Dinas PSDA, Dinas Kehutanan. Sampai lembaga seperti Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, juga Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) seperti yang telah diulas sebelumnya. 

Sementara penanggulangan, upaya untuk mengatasi karhutla yang sudah terjadi dilakukan saat dan setelah terjadinya karhutla. Utamanya, seperti yang tersorot beberapa waktu terakhir adalah upaya untuk menghentikan penyebaran api dan pemadaman yang dilakukan oleh berbagai instansi seperti BPBD, Manggala Agni, dibantu TNI dan Polri serta masyarakat.

Tak terlepas dari itu, upaya penanggulangan juga dapat berupa rehabilitasi dan pemulihan wilayah terbakar seiring padamnya api di wilayah tersebut. 

Melansir dari FGD yang digelar pada Agustus 2023 lalu, Deputi Bidang Pencegahan BNPB Prasinta Dewi mengatakan pihaknya telahmelakukan berbagai upaya dalam mengantisipasi El Nino Tahun 2023. Langkah dan strategi dilakukan bersama dengan lintas kementerian/lembaga dan kerja sama dengan pemerintah daerah. 

Langkah-langkah itu mencakup pelaksanaan apel kesiapsiagaan dan kunjungan daerah, dukungan operasi darat berupa logistik dan perlengkapan pemadaman darat, teknologi modifikasi cuaca, sarana prasarana operasi udara berupa helikopter patroli dan water bombing, serta integrasi aplikasi pemantauan karhutla. 

“Ada 6 provinsi prioritas yang telah menetapkan status tanggap darurat dalam penanggulangan karhutla antara lain Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah”, jelas Prasinta saat itu.

Meski demikian, upaya pencegahan yang diambil oleh pemerintah dalam penanganan karhutla di Sumsel dipertanyakan oleh sejumlah aktivis lingkungan baru-baru ini. Salah satunya dari Kawali Sumsel yang menduga terjadi penyelewengan dana pencegahan sehingga karhutla masih dirasakan oleh masyarakat. 

"Dana besar yang digelontorkan baik di tingkat pusat dan daerah terkesan sia-sia, saat pencegahan tidak maksimal dilakukan," kata Ketua Kawali Sumsel, Chandra Anugerah.

Dana yang berasal dari pusat (APBN) maupun APBD menurutnya harus dipertanggungjawabkan oleh leading sector pencegahan, mulai dari TRGD, Dinas LHP, Dinas PSDA, Dinas Kehutanan dan Pemkab setempat. Mulai dari transparansi serta penggunaannya. 

Terlebih saat banyaknya infrastruktur yang telah dibangun dalam rangka pencegahan ini tidak bisa dimaksimalkan. Sehingga, Kawali Sumsel meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk meyelidiki pihak-pihak terkait untuk bertanggungjawab dalam upaya pencegahan karhutla ini. Tanpa mengesampingkan petugas yang sampai saat ini masih berjibaku dalam proses penanggulangan bencana karhutla ini. 

"Apa yang kita pertanyakan adalah upaya pencegahan yang ternyata meski telah diprediksi sebelumnya, tapi masih tak bisa dicegah maksimal, kemana dana besar yang digelontorkan untuk antisipasi itu. Harus ada yang bertanggung jawab," kata Chandra.

Sebelumnya, Pemprov Sumsel juga dianggap gagal paham dalam menangani akar masalah. Penanganan Karhutla yang terkesan hanya berfokus pada pemadaman api (penanggulangan) membuat ekosistem gambut yang menjadi sumber api saat musim kemarau menjadi terabaikan. 

"Pemerintah hanya fokus penanganan. Tetapi kan masalah subtansialnya terletak pada kerusakan ekosistem gambut yang menjadi pemicu kebakaran," kata  

Menurut Febri, lokasi kejadian Karhutla tahun ini juga terus berulang setiap tahunnya. "Artinya titik lokasi ini sudah bisa dipetakan potensinya. Tetapi, tidak ada tindakan dari pemerintah yang benar-benar tepat dalam melakukan antisipasi," ucapnya. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI), Dedi Permana yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel. Dia mengatakan, penanganan dengan dana miliaran ini terkesan sia-sia karena pendekatan yang digunakan masih bersifat parsial. 

"Karena itu, gambut itu tetap menjadi sangat rawan terhadap kerusakan dan potensi kebakaran," katanya. Seharusnya menurut Dedi, yang perlu dilakukan pertama-tama yaitu sebuah master plan yang berbasis lanskap, sehingga semua pihak melakukan kegiatan terarah mengikuti masterplan, baik dalam kontek penataan air maupun pemanfaatannya. 

"Karena tidak dimulai dengan membangun masterplan, maka tidak ada patokan dan arahan sehingga infrastruktur gambut tidak berfungsi dengan layak. Sehingga (dana pencegahan) dapat dibilang sia-sia, Kami berharap ini menjadi evaluasi terkait perlindungan dan pengelolaan gambut," terangnya.

Hal inilah yang juga sempat diakui oleh Kepala Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), Dharna Dahlan yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel beberapa hari lalu. Menurut Dharna, restorasi gambut terbagi menjadi tiga program utama. Yakni rewetting, revegetasi dan revitalisasi.

Dijelaskannya, sampai tahun 2022, (BRGM) dan Pemprov Sumsel telah membangun sebanyak 1.080 unit sekat kanal serta 281 unit sumur bor sebagai upaya rewetting atau pembasahan kembali kawasan gambut. Selain pembasahan kembali lahan gambut, pemerintah juga melakukan upaya revegetasi atau penanaman kembali lahan gambut yang terbakar. Hingga 2022, sudah sekitar 85 hektar lahan gambut yang direvegetasi

"Jadi ditanam tanaman khas gambut seperti Meranti dan tanaman khas lainnya," ucapnya. Upaya lainnya yakni revitalisasi. Dimana masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hidrologi gambut diberdayakan untuk menjaga lahan. Mereka akan diberikan usaha seperti pemeliharaan sapi, ikan ataupun usaha lainnya yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya

"Sejauh ini sudah ada 987 paket bantuan ke kelompok masyarakat yang tinggal di dekat areal gambut," terangnya.

Dana untuk program-program tersebut, menurut Dharna tidak hanya berasal dari pusat. Tetapi juga dari APBD yang 'dititipkan' ke instansi atau organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Seperti Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) untuk pembangunan sekat kanal dan infrastruktur pembasahan. Kemudian Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) untuk program revitalisasi dan Dinas Kehutanan (Dishut) untuk program revegetasi. 

"TRGD tidak punya wewenang untuk memegang anggaran. Kami sifatnya hanya mengajukan program. Sementara eksekusinya di dinas terkait," bebernya. Secara tidak langsung, Dharna mengungkapkan bahwa tiga dinas itulah yang seharusnya dan menyampaikan secara transparan berapa dana yang sudah digunakan dan untuk apa dana itu digunakan kepada publik.