Rangkap jabatan Ridwan Djamaluddin sebagai Dirjen Minerba Kementerian ESDM sekaligus Pj Gubernur Bangka Belitung mendapat sorotan. Pasalnya, rangkap jabatan tersebut rentan menimbulkan konflik kepentingan.
- Operasional Dua Perusahaan Tambang di Morowali Utara Dihentikan
- Pemerintah Didesak Evaluasi Ulang Izin PT Prima Lazuardi Nusantara, Ancam Aksi Besar-besaran
- PP Muhammadiyah Tegaskan Belum Ada Keputusan Terkait Tambang
Baca Juga
Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman beberapa waktu lalu.
"Gimana mau beres tata kelola Minerba kita, jika masih dirangkap jabatan, termasuk soal DMO (Domestic Market Obligation) batubara untuk PLN dan RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya) ribuan penambang setiap tahunnya,” kata Yusri.
Dia mengatakan, rangkap jabatan tersebut kental akan konflik kepentingan antara Ditjen Minerba maupun Pemprov Bangka Belitung. Apalagi Provinsi Bangka Belitung daerah penghasil timah terbesar di Indonesia.
Sejumlah pengamat maupun ahli telah mengingatkan akan potensi konflik kepentingan dari rangkap jabatan tersebut. Hanya saja, pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, MenPAN RB dan Menteri ESDM seolah membiarkan persoalan tersebut.
“Sudah lama ada yang mengingatkan seperti itu, kenapa ada pembiaran hingga saat ini. Sekarang bahkan infonya banyak pejabat Minerba harus ke Bangka Belitung untuk rapat dengan Dirjen Minerba. Tentu ini adalah pemborosan anggaran yang tidak perlu,” katanya.
Yusri menjelaskan, kinerja Ridwan Djamaluddin Dirjen Minerba juga masih dipertanyakan publik. Pasalnya, saat belum rangkap jabatan saja, terjadi krisis pasokan batubara ke PLN yang disebabkan banyak penambang tidak merealisasikan kuota DMO.
"Sehingga, apa hebatnya sampai harus dipertahankan sebagai Dirjen Minerba," ucapnya.
Belum lagi, pasca disepakatinya UU Minerba pada 12 Mei 2020 lalu oleh DPR RI juga telah mengundang munculnya penambangan ilegal, karena izin tambang galian C tidak didelegasikan ke daerah.
“Sehingga banyak material yang digunakan untuk pembangunan berbagai infrastruktur berasal dari tambang ilegal,” ungkap Yusri.
Kemudian, pada 8 Agustus 2022 lalu, Plh Dirjen Minerba Idris Sihite memimpin penandatanganan Berita Acara Serah Terima Perizinan dan Non Perizinan, dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Pemerintah Provinsi.
“Jadi yang menyerahkan dokumen adalah Plh Dirjen Minerba dan yang menerima adalah Dirjen Minerba, karena sebagai Dirjen Minerba definitif, Ridwan Djamaludin rangkap jabatan sebagai Gubernur Bangka Belitung. Apa mesti begini?," ucapnya.
Disebutkannya, Pasal 35 ayat 4 UU Minerba Nomor 3 tahun 2020 jelas menyatakan bahwa Pemerintah Pusat Dapat Mendelegasikan Kewenangan Pemberian Perizinan Berusaha di Sektor Pertambangan kepada Pemerintah Daerah dalam hal ini provinsi.
“Nah, jika Plt Gubernur dapat pelimpahan kewenangan apakah itu bukan telah terjadi konflik kepentingan yang nyata?, yaitu dari dia untuk dia,” kata Yusri.
Yusri mendorong penegak hukum dapat mencermati potensi penyalahgunaan wewenang dari rangkap jabatan ini yang bisa merugikan keuangan negara. Terutama terkait kewenagan pemberian izin tambang, persetujuan RKAB, realisasi DMO dan rekomendasi ekspor batubara dan mineral lainnya.
Sebab, pendapatan negara dari sektor Minerba cukup memberikan sumbangsih besar. Belum lagi, harga di tingkatan dunia yang terus mengalami kenaikan. "Tahun lalu, negara menerima Rp124,5 triliun dari sektor minerba. Belum lagi tahun ini imbas dari kenaikan harga batubara dunia. Kalau tidak ditata dan dikelola dengan baik, maka negara bisa dirugikan," tandasnya.
- Erick Thohir Diminta Klarifikasi, 22 Bulan Melanggar Undang-Undang
- Berantas Tipu-tipu Izin Tambang, Menteri Bahlil Bakal Bentuk Ditjen Gakkum
- Operasional Dua Perusahaan Tambang di Morowali Utara Dihentikan