Buruh Muaraenim Tolak Pembahasan RUU Cipta Kerja Dilanjutkan

Menilai pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja inkonstitusional, serikat pekerja yang merupakan afiliasi Global Unions Federations menyatakan sikap. Mereka kecewa pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja Tingkat I pada Sabtu (3/10/2020) petang, di mana mayoritas fraksi di DPR RI dan pemerintah sepakat untuk melanjutkan pembahasan ke Tingkat II di Sidang Paripurna DPR RI.


Serikat pekerja yang menolak tersebut adalah tersebut FSPM dan FSBMM, SERBUK Indonesia, PPIP, FSP2KI, dan FBTPI.

Adapun alasan serikat pekerja menolak omnibus law, seperti disampaikan Presiden FSBMM, Dwi Haryoto, perubahan yang fundamental dari undang-undang dan peraturan yang mempengaruhi setiap warga negara dan buruh di Indonesia tidak boleh dipaksakan di tengah kondisi pandemi dan krisis yang semakin memburuk seperti ini.

Perubahan besar pada hukum membutuhkan perdebatan dan diskusi dalam situasi atau lingkungan yang memungkinkan adanya kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi. Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, hal ini tidak mungkin dilakukan.

“Sebagai warga negara dan pekerja, serikat pekerja menilai tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam memperdebatkan undang-undang yang akan mempengaruhi kehidupan kita selama beberapa dekade mendatang. Oleh karena itu, omnibus law harus dihentikan dan diskusi lebih lanjut harus dilakukan setelah pandemi ini berakhir, ketika kita dapat berbicara dan berpartisipasi dengan bebas,” tegas Salman, KetuaUmum FBTPI, Senin (05/10/2020) dalam siaran persnya.

Sementara itu, Ketua Umum PPIP PS Kuncoro menyampaikan, jika RUU Omnibus Law ini di sahkan menjadi undang-undang, maka akan berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam subklaster ketenagalistrikan, dimana putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015, tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja. Hal ini akan mengakibatkan adanya pelanggaran UUD 1945 NRI Pasal 33 ayat (2), dimana tenaga listrik yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara, yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat.

Selain itu, RUU Omnibus law dinilai akan menciptakan ancaman terbukanya kemungkinan lingkungan dan sumber daya alam Indonesia untuk dieksploitasi oleh korporasi swasta/profit. Tanpa aturan yang jelas, lingkungan alam kita hanya akan menjadi peluang bisnis dan akan dihancurkan untuk mencapai keuntungan semata.
Ditambahkan oleh Presiden FSPM Husni Mubarok, RUU Cipta Kerja memberikan janji semu akan tersedianya lebih banyak pekerjaan di masa depan. Pekerjaan macam apa yang diciptakan? RUU Cipta Kerja justru akan mengurangi jaminan akan pekerjaan dan memungkinkan pengusaha untuk mengeksploitasi lebih banyak pekerja kontrak dengan upah rendah dan pekerjaan outsourcing di semua sektor.

Di samping itu, lanjutnya, pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan dengan upah rendah yang terjamin, tapi tanpa ada masa depan. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang tidak permanen yang didasarkan pada rasa takut untuk mendapatkan pekerjaan kontrak berikutnya.

Lebih lanjut Presiden FSP2KI, Hamdani menyatakan bahwa RUU Cipta kerja juga mengancam akan dihilangkannya cuti berbayar, termasuk hak-hak yang mengikuti cuti melahirkan yang begitu penting bagi kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Dengan begitu banyaknya kerusakan pada sistem kesehatan masyarakat Indonesia di masa pandemi ini, mengapa pemerintah malah ingin menyerang kesehatan dan kesejahteraan kita.

Ketua Umum SERBUK Indonesia Subono menilai, pekerjaan baru yang dijanjikan oleh omnibus law ini bukanlah pekerjaan nyata. Itu adalah pekerjaan berupah murah dan bersifat sementara. Dalam krisis ekonomi akibat pandemi ini, kita membutuhkan adanya percepatan pemulihan ekonomi. Pemulihan ekonomi ini tidak datang dari investasi asing yang masuk ke Indonesia untuk mengeksploitasi tenaga kerja outsourcing, mengambil sumber daya alam dan merusak lingkungan kita.

“Kita tidak dapat pulih secara ekonomi dengan dasar upah murah dan pekerjaan yang tidak terjamin. Hanya pembelanjaan domestik dengan dasar pekerjaan tetap dan upah layak yang dapat membantu Indonesia pulih dari pandemik,” ujarnya.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan untuk disampaikan bahwa RUU omnibus ini inkonstitusional, tidak sah dan tidak perlu.

Oleh karena itu, FSPM, FSBMM, PPIP, Indonesia, SERBUK, dan FSP2KI mendapat dukungan penuh dari afiliasi di tingkat internasional, dimana BWI, IUF, IndustriAll, ITF dan PSI mewakili lebih dari 110juta anggota di dunia siap untuk melakukan perlawanan bersama-sama untuk menolak Omnibus Law dan menyerukan lima hal.

Lima hal yang dituntut oleh serikat adalah pembahasan RUU Cipta Kerja dengan tidak untuk dilanjutkan, apalagi mengesahkannya menjadi undang-undang.

Memastikan bahwa UU No 13/2003 tidak boleh diubah atau dikurangi. Kalaupun ada penguatan hanya sebatas pada fungsi pengawasan pelatihan, pendidikan dan sebagainya sehingga akan sesuai dengan kondisi sekarang.

Merundingkan kembali dan membuka dialog konstruktif dengan serikat pekerja untuk mencapai dan membahas masalah yang tidak tercakup dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003.

Memastikan pasal-pasal di dalam sub-klaster Ketenagalistrikan yang sudah mendapat putusan dari Mahkamah Konstitusi tidak dihidupkan lagi dalam RUU Cipta Kerja.

Dan mendukung agenda buruh Indonesia yang akan melakukan mogok nasional pada tanggal 6, 7, dan 8 Oktober 2020.[ida]