Beri Karpet Merah untuk Anak Presiden, Peran MK Dinilai Menjadi Alat Politik Kekuasaan 

Pengamat politik dari Forum Demokrasi Sriwijaya (ForDes) Bagindo Togar/ist
Pengamat politik dari Forum Demokrasi Sriwijaya (ForDes) Bagindo Togar/ist

Mahkamah Konstitusi (MK) terus menjadi sorotan setelah mengabulkan gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. 


Putusan yang membuat anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakaningbumi Raka, bisa maju jadi cawapres itu dinilai kontroversial. Sebab Ketua MK Anwar Usman merupakan paman dari Gibran.

Sejumlah pengamat, praktisi, aktivis, tokoh masyarakat, hingga budayawan pun menyuarakan kritik mereka terhadap putusan MK tersebut. Mereka menduga, putusan MK terkait batas usia capres dan bacawapres syarat akan konflik kepentingan.

Kritik dan ungkapan kekecewaan pun juga disampaikan pengamat politik dari Forum Demokrasi Sriwijaya (ForDes) Bagindo Togar. Pengamat politik yang banyak dikenal di Sumatera Selatan ini mengatakan kepercayaannya terhadap MK telah berkurang. 

“Sudah jelas, saat ini MK menjadi alat poltitik kekuasaan. Jadi itu sekarang MK itu bukan Mahkamah Kekuasaan, tetapi Mahkamah Kaleng-kaleng dan Mahkamah Konspirasi. Kok mau hakim-hakim ini jadi alat politik kekuasaan, kalau bisa di- Impeachment, semua hakim MK itu, 4 orang itu harus dikenakan sanksi dan diberhentikan dari MK,’ kata Bagindo saat dihubungi, Jumat (11/3/2023).

Ia mengatakan, MK yang seharusnya menjadi lembaga penjaga konstitusi kini mulai diragukan ketika mengeluarkan putusan uji materi terhadap batas usia capres dan cawapres. 

Dia khawatir, MK yang sudah tidak kredibel lagi ini akan dimanfaatkan lagi sebagai alat politik kekuasaan jika nanti terjadi sengketa dalam pilpres 2024. 

“Bagaimana kalau nanti ada sengketa pemilu. Sudah nggak kredibel lagi mereka, kalau ada sengketa pemilu. Bagimana kita bisa percaya, mereka telah mengorbankan etik yang seharusnya mereka junjung tinggi,” katanya. 

Mantan Ketua IKA Fisip Universitas Sriwijaya (Unsri) ini curiga, para hakim MK tersebut mendapat reward atau kompensasi sehingga berani melanggar etik. Hal itu, menurutnya perlu diinvestigasi dan jika memang benar terbukti, maka para hakim tersebut harus diberhentikan dan diberikan sanksi. 

“Kenapa mereka bisa berani melanggar etik mereka, pasti ada sesuatu reward atau kompensasi untuk mereka, ketika mereka menabrak etik yang mereka junjung tinggi. (melanggar) Etik itu tidak ada yang gratis, itu pasti bada reward dan kompensasi yang luar biasa. Ini harus diinvestigasi dan diberhentikan ketika terbukti bersalah, mereka sudah tidak punya adab lagi,” jelasnya.