Penundaan Pelantikan Kepala Daerah Dinilai Sudah Tepat, Diprediksi Bisa Mundur hingga Maret

Pengamat Politik Bagindo Togar/ist
Pengamat Politik Bagindo Togar/ist

Penundaan pelantikan kepala daerah terpilih, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, yang semula dijadwalkan pada 6 Februari 2025, hingga kini masih menjadi perbincangan hangat.


Keputusan untuk menunda pelantikan tersebut mengundang banyak spekulasi, terutama terkait dengan aspek hukum yang belum selesai.

Pengamat politik asal Sumatera Selatan, Bagindo Togar menilai penundaan ini adalah langkah yang tepat. Ia menjelaskan ada sejumlah masalah hukum yang belum tuntas, seperti perkara yang belum memiliki putusan inkrah dan beberapa kasus yang masih dalam proses dismissal.

"Ada tiga kategori kepala daerah terpilih, pertama mereka yang masih berproses hukum, kedua mereka yang mengalami pemberhentian, dan ketiga mereka yang bebas dari sengketa dan siap dilantik," ungkap Bagindo, Minggu (2/2/2025).

Menurut Bagindo, penyamaan status antara kepala daerah yang bersengketa dengan yang tidak bersengketa membuat ketidakpastian hukum terasa tidak adil.

"Bagi mereka yang sudah bersih dari masalah hukum, penundaan ini terasa tidak adil," tambahnya.

Ia juga menekankan bahwa kebijakan penundaan ini bukan hanya untuk menghindari ketidakpastian hukum, tetapi juga untuk menyamakan masa jabatan kepala daerah yang baru, yaitu lima tahun. Langkah ini sejalan dengan wacana Pilkada tidak langsung yang akan melibatkan DPRD di masa depan.

Bagindo memprediksi bahwa pelantikan dapat tertunda hingga Maret 2025, meskipun ada harapan agar pelantikan tetap dilaksanakan pada Februari. 

"Kemungkinan besar pelantikan akan mundur, meskipun ada beberapa pihak yang menyebut tetap bisa dilakukan pada Februari," katanya.

Ia memperkirakan, jika pelantikan tertunda, posisi gubernur akan dilantik terlebih dahulu, karena gubernur memiliki kewenangan untuk melantik bupati dan wali kota.

Terkait dengan dampak penundaan ini terhadap pembangunan daerah, Bagindo berpendapat bahwa itu sangat bergantung pada inisiatif kepala daerah terpilih. "Jika mereka memiliki visi dan gagasan yang jelas, pembangunan tetap bisa berjalan," ujarnya.

Namun, ia juga mengkritisi dominasi politik transaksional dalam Pilkada yang memperburuk kualitas politik Indonesia. Bagindo menegaskan, banyak kepala daerah yang terpilih lebih fokus pada pengembalian modal politik ketimbang memikirkan kemajuan daerah.

Bagindo mengingatkan bahwa perubahan mendasar dalam sistem politik menjadi kunci untuk melahirkan pemimpin yang lebih berintegritas dan visioner. 

"Kita harus berusaha mengubah sistem ini agar lebih fokus pada gagasan dan inovasi, bukan hanya politik uang," pungkasnya.