Baru Tiga Bulan, Hujan Lebat di Indonesia Sudah Terjadi 442 kali

Net/rmolsumsel.id
Net/rmolsumsel.id

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat mencatat telah terjadi sebanyak 442 kejadian hujan lebat di Indonesia per Januari-Maret 2022.


Hal tersebut diungkapkan oleh Deputi Bidang Meterologi BMKG Pusat, Guswanto bahwa dalam waktu tiga bulan di tahun 2022, sejumlah kejadian sudah terjadi di Indonesia yang mengakibatkan kerusakan serta korban.  

“Baru tiga bulan dampak yang cukup besar sudah terjadi di Indonesia,” katanya dalam Webinar Peringatan Hari Meteorologi Dunia ke-72 Sumatera Selatan, Kamis (24/3).

Setidaknya telah terjadi 442 hujan lebat, 10 petir, 12 hujan es, 204 angin kencang, hingga 56 kali putting beliung. Sedangkan untuk kejadian seperti suhu ekstrem dan jarak pandang, belum pernah terjadi di tiga bulan tersebut.

Kemudian terkait dampak kepada masyarakat, kejadian tersebut mengakibatkan bangunan rusak sebanyak 116 di bulan Januari, 83 Februari, dan 37 di bulan Maret. Terkait banjir sendiri, di bulan Januari telah terjadi 66 kali, 55 di bulan Februari, serta 49 di Bulan Maret.

Kendati demikian, BMKG mencatat korban jiwa akibat kejadian tersebut hanya berjumlah 10 jiwa di masing-masing di bulan Januari dan Februari, serta 6 jiwa di bulan Maret.

“Dari grafiknya kita mulai mengalami penurunan, sebab puncak musim penghujan perlahan mulai turun,” terangnya.

Kemudian terkait pengendali cuaca yang menjadi penyebab kejadian tersebut, Guswanto menyebutkan ada lima penyebab dalam skala regional - global, yakni ENSO (El Nino-Southern Oscillation), monsun, MJO (Madden Julian Oscillation), dan IOD (Indian Ocean Dipole).

ENSO merupakan salah satu bentuk penyimpangan ilim di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan suhu permukaan laut di daerah katulistiwa bagian tengah dan timur. Sedangkan monsun, adalah angin yang bergerak setiap enam bulan sekali yang membuat Indonesia mengalami tiga tipe hujan.

Lalu MJO merupakan fenomena atmosfer yang berpengaruh pada peningkatan potensi hujan dengan siklu hidup sekitar 30-60 hari. “Kalau IOD sama seperti ENSO namun terjadi di Samudera Hindia,” timpalnya.

“Itulah faktor labilitas yang juga terjadi di Kota Palembang atau Sumatera Selatan,” pungkasnya.