Baru Terealisasi 0,67 Persen, DPR Pertanyakan Lambatnya Peremajaan Sawit Rakyat

Program peremajaan sawit rakyat berjalan sangat lambat. (Net/rmolumsel.id)
Program peremajaan sawit rakyat berjalan sangat lambat. (Net/rmolumsel.id)

Peremajaan sawit rakyat (PSR) berjalan sangat lambat. Padahal 2022 ini merupakan tenggat waktu program ini.


Anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal Pasluddin mengatakan, berdasarkan data Kementerian Pertanian, program PSR menunjukkan realisasi 15,41 persen atau 27.747 hektare sepanjang 2021. Jumlah itu masih jauh dari target seluas 180 ribu hektare.

Oleh karena itu, Akmal meminta kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian agar perkebunan sawit yang dikelola rakyat ini menjadi prioritas dengan segala bantuan dana dan transfer ilmu pengetahuan.

“Tahun 2022 merupakan tahun terakhir pencapaian target 540 ribu hektare. Hingga 24 Februari 2022, realisasi PSR bertengger di 1.199 hektare atau 0,67 persen. Berpijak dari data ini, menunjukkan lambatnya perjalanan PSR. Saya ingin penjelasan (pemerintah) bagaimana mempercepat peremajaan sawit rakyat ini sehingga mencapai target, mengingat total kebun rakyat yang ditanam sawit hampir setara dengan areal tanam perusahaan besar swasta,” tutur Akmal, Kamis (14/4).

Akmal mengatakan, ketika produktivitas sawit rakyat ini meningkat, tentu akan berdampak pada penerimaan negara yang lebih besar. Tapi dukungan awal dari Pemerintah sangat diperlukan, sehingga petani-petani sawit menjadi maju dan mampu menghasilkan sawit yang besar dan berkualitas.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan, Pemerintah mesti lebih condong dalam mengalokasikan bantuan kepada sawit yang ditanam petani mengingat masih banyak kendala teknis yang secara psikologis mengganggu produktivitas sawit rakyat. Persoalan yang cukup pelik pada peremajaan sawit rakyat misalnya, persoalan  yang banyak dihadapi petani rakyat yang hendak menanam sawit di antaranya masalah birokrasi, sosialisasi dan pendampingan, hingga legalitas lahan.

Kemudian perencanaan kerja dan laporan pertanggung jawaban, akses bibit yang sulit, serta harga saprodi yang terus naik, kemitraan dan dana tambahan serta pemeriksaan aparat hukum.

“Saya berharap agar Panja Sawit bisa lebih tajam menganalisa persoalan sawit dari hulu hingga hilir. Jangan sampai persoalan sawit ini terus berlarut dan tidak ada penyelesaian. Saya memprediksi, persoalan tata niaga minyak goreng ini tidak berhenti sampai lebaran, dan akan terus berlanjut yang pada akhirnya sangat merugikan rakyat Indonesia,” tuturnya.