ASN WIBAWA PEMERINTAH [Bagian Keempat]

Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si
Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si

Siapa sesungguhnya pemilik Pegawai Negeri (ASN) ini dalam Pemerintahan? Apakah milik Pemerintah Pusat atau milik Pemerintah Daerah? 

Apabila ditinjau dari teori prefektoral, maka sesungguhnya seluruh ASN termasuk didalamnya PNS dan PPPK hakikatnya adalah milik Pemerintah Pusat, sehingga penggunaan istilah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) akan dinilai absurd. 

Dinamika dari diskusi ini pada akhirnya akan menyimpulkan bahwa siapapun Pejabat Pembina Kepegawaian baik di level Kabupaten/Kota hingga Provinsi tidak dapat mengklaim bahwa Pegawai (PNS/PPPK) adalah miliknya. 

Sebab, PPK hanya diberi kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk “membina” sesuai sistem merit yang berlaku dan kemudian mengembangkannya menjadi Pegawai ASN yang berintegritas dan profesional. 

Disisi lain, posisi Kepala Daerah Kota/Kabupaten bahkan Provinsi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di Pemerintahannya yang sesuai dengan amanat Undang-undang No 5 Tahun 2014, sebagai legal standing memberikan Kepala Daerah kewenangan untuk mengeksekusi manajemen ASN atau PNS di Lingkungan Pemerintahannya.

Tidak hanya sebagai eksekutor, karena terdapat beban berat dalam menjalankan fungsi kewenangan yang didapatkan oleh Kepala Daerah ini, yaitu memastikan berjalannya sistem merit ASN dengan baik di Pemerintahnnya. 

Cakupan tugas yang sangat luas ini bagi seorang Pejabat Kepala Daerah adalah tugas yang melekat non imparsial, bahasa mudahnya adalah “memastikan ke-“profesionalan” ASN pada tempatnya”.

Sebagaimana kita ketahui dan kita sepakati bersama bahwa ASN itu bukan bagian dari partai politik maka ASN tidak boleh dijadikan komoditas dan alat politik oleh Kepala Daerah dalam bentuk apapun. 

Maka kemudian, apabila yang terjadi kebalikannya maka dapat dipastikan sistem merit kepegawaian tidak dipakai oleh Kepala Daerah sebagai acuan dari fungsi PPK. 

Selanjutnya yang tidak kalah menarik adalah episteme dimanakah posisi Kepala Daerah di Indonesia? Ini menjadi bahasan penting agar semua Kepala Daerah mengerti posisi jabatannya dalam struktur Negara. Fried (1963) menjelaskan tentang sistem prefektoral, dia menerangkan bahwa dalam sistem ini terdapat dua model Field Administration

1. Fragmented Field Administration : 

Model pertama, melegalkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari perangkat departemen/lembaga yang berada di  Daerah sebagai perwakilan dari intansi induknya (Instansi Vertikal), dan; 

2. Integrated Field Administration.

Model kedua, mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas dasar Daerah/Wilayah Administrasi beserta fungsi Wakil Pemerintah. 

Dalam kaitannya dengan desentralisasi, maka model ini mengharuskan pula berhimpitnya daerah otonom dengan Daerah Administrasi dan perangkapan jabatan Kepala Daerah (Local Self Government) dan Wakil Pemerintah Pusat (Local State Government). Sistem pemerintahan lokal dengan karakteristik tersebut dikenal dengan sebutan Integrated Prefectoral System. (baca: Leemans;1970).

Dari dialog diatas maka Kepala Daerah di Indonesia yang memiliki salah satu fungsi dalam jabatannya sebagai PPK akan diawasi secara langsung oleh Kementerian Dalam Negeri, dimana dalam implementasinya melibatkan juga dua  Kementerian lain dan satu Badan Adhoc, yaitu MENPAN RB, BKN RI dan KASN RI. Sehingga dari penjelasan ini dapat disimpulkan jika posisi Kepala Daerah baik itu Gubernur, Bupati/ Walikota secara teoritis menganut sistem prefektoral.

Selanjutnya ada satu bahasan lagi yang fundamental, yaitu struktur kelembagaan dari Pemerintah Daerah. Dalam beberapa kesempatan yang disana saya sebagai narasumber-nya, saya selalu menyampaikan bahwa ketidak efektifan kerja Lembaga Pemerintah khususnya di Pemerintah Daerah adalah karena ketidakpahaman leading sector-nya, dalam hal ini Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Dinas atau Sub bidang yang menangani Organisasi Lembaga Pemerintah dan Kepegawaiannya yang dalam bekerja tidak berdasarkan landasan ilmiah dari teori Struktur Organisasi. 

Fenomena yang sering terjadi dari kondisi ini kebanyakan OPD / Dinas sering terjebak dalam kegiatan yang berlandaskan sisi normatif saja dan mengabaikan landasan ilmiah. 

Sehingga sangat wajar OPD/Dinas di Pemda melakukan kesalahan dalam menguraikan tugas pokok dan fungsi jabatan yang hasil akhirnya justru sering “tumpang tindih” antara satu OPD dengan OPD lainnya. 

Sesungguhnya bila saja Kepala OPD/ Dinas mengerti posisi “Core Business” dari OPD/Dinas yang dipimpinnya, maka “tumpang tindih” akan uraian tugas, pokok dan fungsi tidak akan terjadi, demikian juga bila saja mengerti akan landasan ilmiah dari struktur organisasi dari OPD/ Dinasnya,  seorang Pimpinan OPD/ Dinas tidak akan salah menempatkan staf-stafnya dalam sebuah jabatan. 

Bahasa mudahnya saya ungkapkan narasi ini “bagaimana mau menunjang kinerja Kepala Daerah jika Kepala OPD salah menempatkan Staf dan salah dalam menguraikan tugas, pokok dan fungsi stafnya”. Saya bisa jamin kondisi ini sering muncul disetiap OPD/Dinas yang ada di Pemerintah Daerah. 

Setelah saya paparkan kondisi yang sering terjadi tersebut, maka kiranya kita perlu sedikit belajar dari Henry Mintzberg (1969) yang secara lugas mengulas tentang Struktur Organisasi ini. Mintzberg membagi core business Organisasi/Lembaga menjadi 5 area; 

1. Strategic Apex, diarea ini Kepala Daerah bernaung dan mendelegasikan urusannya kepada OPD yang sesuai dengan kriteria kerjanya;

2. Midle Line, Sekda dan para Asisten berada di Wilayah ini;

3. Support Staff, diisi oleh OPD yang memiliki kriteria kerja support sistem bagi kinerja Kepala Daerah 

4. Techno Structure, diisi oleh OPD yang memproduksi telaah teknis dan akademis bagi Kepala Daerah;  

5. Operating Core, diisi oleh OPD yang core bisnisnya bersifat pelayanan langsung kepada Masyarakat.  

 

Menginternalisasikan nilai ilmiah ini menurut saya harus disepakati oleh Seluruh Kepala Daerah, bukankah demikian? terlebih sebagai representasi tanggung jawab seorang Kepala Daerah yang sangat besar dengan konsekuensi maju atau mundurnya kinerja organisasi dari Pemerintah Daerah yang dipimpinnya. 

Idealnya Kepala Daerah harus mengkonsentrasikan seluruh urusan kepegawaian/Sumber Daya Manusia (SDM) ASN dalam Pemerintahannya kedalam program dan kebijakan yang sesuai landasan ilmiah/naskah akademis, landasan normatif/hukum, yaitu dengan menjalankan sistem merit (profesional non politis) dan pengalaman empirik dari OPD tersebut agar tidak boleh terjebak dalam kegiatan rutin semata (seremonial). 

Apa yang akan terjadi bila kondisi ideal ini berjalan? Bila kondisi ini yang terjadi dalam pemerintahan daerah maka saya jamin secara otomatis akan raihan kinerja OPD yang dapat mewujudkan Peningkatan Kualitas SDM-nya & Pelayanan Publik yang prima juga bersih serta bebas KKN.