Alasan Keamanan, Junta Militer Myanmar Tunda Pemilu

Jenderal Min Aung Hlaing/Net
Jenderal Min Aung Hlaing/Net

Rencana pemilu Myanmar yang dijanjikan akan berlangsung pada Agustus ini secara resmi telah ditunda oleh pemimpin junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing.


Dalam pertemuan dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) yang didukung oleh tentara, Jenderal Min Aung Hlaing juga telah mengambil keputusan untuk memperpanjang keadaan darurat di negara itu selama enam bulan ke depan.

Keputusan tersebut menyebabkan penundaan pemilihan hingga 2024, yang telah mengejutkan masyarakat yang menantikan proses pemilu sebagai langkah menuju pemulihan demokrasi, setelah militer mengkudeta pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada 2021 lalu.

Dalam dalihnya, junta menyebut alasan keamanan dan kekerasan yang sedang berlangsung di negaranya sebagai faktor utama untuk penundaan pesta demokrasi itu.

"Pemilihan akan diadakan setelah keadaan aman tercipta dan situasi yang kondusif untuk partisipasi rakyat dalam proses demokratis," bunyi pernyataan resmi junta yang disiarkan melalui televisi pemerintah, Senin (31/7) malam.

Sejak kudeta berlangsung, Myanmar telah dilanda oleh aksi perlawanan dan protes berkepanjangan dari masyarakat sipil dan kelompok oposisi yang menentang penguasaan militer, yang menyebabkan ketidakstabilan di negara tersebut, akibat respon dan tindakan keras dan sewenang-wenang dari militer, yang memicu kecaman dari internasional.

Militer Myanmar sebelumnya telah berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum pada Agustus 2023 sebagai upaya untuk mengembalikan demokrasi dan memulihkan stabilitas politik di negara itu.

Namun, situasi keamanan yang tidak stabil dan meningkatnya konflik di beberapa wilayah disebut dapat mempengaruhi pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil.

"Untuk terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil serta dapat memberikan suara tanpa rasa takut, tetap diperlukan pengaturan keamanan sehingga masa darurat perlu diperpanjang,” tambah pernyataan junta, seperti dimuat Malaymail.

Menanggapi penundaan pemilu itu, beberapa negara Barat dan lembaga internasional menyatakan keprihatinan mereka atas langkah tersebut. Keputusan itu dianggap dapat memperdalam kekerasan dan ketidakstabilan di Myanmar.

“Kebrutalan rezim yang meluas dan mengabaikan aspirasi demokrasi rakyat Burma terus memperpanjang krisis,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller.