33 tahun setelah peristiwa pelanggaran HAM Berat Talangsari, Lampung Timur (1989), Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM) utusan Kemenpolhukam datang ke Lampung.
- Bawa Barang Saat Mudik Pakai Motor, Ini yang Harus Diperhatikan Pengendara
- Kapal Perang AS dan Kanada Seliweran di Selat Taiwan, Pertanda Apa?
- Rencana Pertemuan Presiden Joe Biden dan Xi Jinping di Indonesia Terungkap, Ini yang akan Dibahas
Baca Juga
TPPHAM menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama LBH, Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), perwakilan aktivis, Perwakilan Pemprov Lampung dan Pemkab Lampung Timur serta media di Hotel Golden Tulip, Selasa (15/11).
Ketua TPPHAM Makarim Wibisono mengatakan, pihaknya menindaklanjuti Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 terkait Pembentukan Tim PPHAM Berat Non-Yudisial untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat termasuk Talangsari tahun 1989.
"Maksimal 31 Desember 2022, kami harus melaporkan kepada beliau apa yang harus dilakukan," ujarnya.
Ia menjelaskan, ada tiga tugas TPPHAM yaitu melakukan pengungkapan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lewat non yudisial, menghasilkan rekomendasi untuk memulihkan korban dan membuat rekomendasi agar pelanggaran HAM berat itu tidak terjadi lagi.
Pakar Hukum Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (HTN UGM) Prof. Zainal Arifin Mochtar mengatakan, penyelesaian lewat non yudisial ini diharapkan jadi alternatif di samping penyelesaian lewat pengadilan.
Menurutnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM lewat pengadilan prosesnya tidak sederhana dan cenderung lebih sulit didorong. Padahal korban harus jatuh berkali-kali.
"Contohnya kasus Timor Timor yang menang di pengadilan tingkat pertama, tapi ketika naik banding dan kasasi akhirnya bebas. Ini terjadi karena Undang-undang kita masih lemah," jelasnya.
Meski pesimis terhadap pemerintah dan kejaksaan, ia menegaskan penyelesaian lewat jalur yudisial atau pengadilan harus tetap berjalan.
"Yang membuat akhirnya kami terima walaupun tidak ideal, agar tidak membiarkan korban tidak jatuh berkali-kali. Negara mengakui bahwa ada pelanggaran HAM, yang paling kita sepakati seperti dalam keppres adalah hak bagi korban," katanya.
Pada FGD ini, ada lima narasumber, di antaranya Dosen Hukum Unila Hieronymus Soerja Tisnanta, Rifian Hadi Acepy Sekretaris Kesbangpol Lampung Timur, Koordinator Smalam Fikri Yasin, Wakil Direktur LBH Bandar Lampung Ali dan Akademisi HTN Unila mendampingi korban Siti Khoiriyah.
Diketahui, Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 7 Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa ini. Talangsari adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur.
Peristiwa Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di Talangsari.
Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.
- Peserta Kongres PMII Asal Lampung Dibegal di Jakabaring
- Tim BKSDA Evakuasi Buaya di Sungai Menang ke Penangkaran di Rawajitu
- KPPU Selidiki Dugaan Pelanggaran 4 Eksportir Lada Hitam di Lampung