Teknologi KFX/IFX Kalah Jauh Dengan Sukhoi, Sebaiknya Dibatalkan Saja!

Proyek pembelian pesawat tempur Korea IFX/KFX yang merupakan hasil kerjasama Korea-Indonesia memasuki tahapan rumit. Selain teknologinya tertinggal bahkan Korea juga tidak mau terbuka soal kemampuan jet tempurnya itu.


Di sisi lain, kondisi keuangan Indonesia juga tidak mendukung untuk melakukan pembelian pesawat dengan harga yang ditawarkan. Sehingga langkah pembatalan negosiasi atau me-renegosiasi menjadi langkah tepat bagi Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Prabowo Subianto.

"Sebetulnya kita yang membeli itu kan melihat kebutuhan. Okelah kita tetap kerjasama dengan Korea tapi posisi kita juga dipersulit dan kita juga menghadapi persoalan ekonomi. Sehingga apa yang langkah Pak Prabowo untuk membeli 11 Suhkoi menjadi langkah yang tepat saya kira karena secara teknologi, Sukhoi jauh lebih unggul dari IFK/KFX punya Korea," demikian penegasan pengamat pertahanan Prof Muradi, Gurubesar Universitas Padjajaran dalam diskusi virtual RMOL.Id bersama Amelia Fitriani dengan tema Persimpangan Jalan Proyek Persahabatan Jet Tempur KFX/IFX, Senin (12/10/2020).

Diungkapkan Muradi, rencana pembelian 11 Sukhoi Su 35 dari Rusia ini mendapat kecaman dari Amerika Serikat. Kecaman itu disampaikan karena Indonesia dianggap tidak punya aliansi militer.

"Kita dikecam AS yah sekarang mau apa, kita mau beli F16 nggak dikasih. Yah udah lebih baik beli dengan Rusia saja. Sekarang ini posisi kita lebih baik di masa perang dingin antara AS dan Rusia. Kita lebih bebas. Intervensi sudah nggak masanya lagi karena Amerika juga banyak musuhnya, China juga demikian. Kondisi inilah yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk lebih bebas lagi memilih," terang Prof Muradi.

Melihat kebutuhan TNI AU saat ini, Prof Muradi berpendapat lebih baik membeli Sukhoi Su 35. Sebagai pembeli, Indonesia bisa menerapkan windows shooping.

"Jaman sekarang negara tidak bisa di dikte apalagi kita tidak mengikuti negara aliansi, jadi bebas memilih. Mendingan ngambil Sukhoi lebih murah. Sementara dengan mereka memberlakukan Indonesia seperti debt collector yang nagih-nagih janji sementara mereka seperti ada yang disembunyikan," sarannya.