Tak Penuhi Poin Kesepakatan, Dinas ESDM Sumsel Bisa Rekomendasikan Setop Angkutan Batubara Lahat 

Keindahan kawasan Bukit Telunjuk yang berada di Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat disinyalir terusik akibat aktivitas tambang. (rmolsumsel.id)
Keindahan kawasan Bukit Telunjuk yang berada di Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat disinyalir terusik akibat aktivitas tambang. (rmolsumsel.id)

Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Sumsel mendorong perusahaan pemilik Izin Usaha Penambangan (IUP) batubara di Kabupaten Lahat, dan Asosiasi Perkumpulan Hauling Batubara Lahat, agar memenuhi enam poin kesepakatan yang dibuat bersama DPRD Sumsel beberapa waktu lalu.


Terlebih, Kepala Dinas ESDM Sumsel, Hendriansyah mengatakan, tenggat waktu pelaksanaan kesepakatan itu hanya sampai Minggu (26/9) mendatang. "Kami tetap memonitor pelaksanaannya di lapangan. Nanti, setelah 15 hari dari kesepakatan kemarin, kita akan cek lagi," ujar dia kepada Kantor Berita RMOLSumsel.

Namun, bila hasil pengecekan kualitas udara yang disebabkan debu pengangkutan batubara nanti tetap seperti sebelumnya atau bahkan lebih buruk, maka operasional angkutan batubara di kawasan tersebut disetop sesuai kesepakatan yang telah dibuat.

"Sebagai regulator, kita sifatnya memberi rekomendasi karena penyetopan akan dilakukan oleh Dinas Perhubungan," tegas Hendri.

Sejauh ini, ungkap Hendri, jalan yang dilalui angkutan batubara saat ini sudah mulai disirami air sebagai upaya mengurangi debu. Dari sisi angkutan, perusahaan menutup bak truk dengan terpal, agar debu tidak berterbangan.

Hanya saja, upaya perusahaan ini dianggap belum maksimal, sebab berdasarkan informasi yang diterima Kantor Berita RMOLSumsel, tidak semua truk ditutupi terpal. Dampaknya, debu batubara (fly ash) masih beterbangan dan dihirup oleh warga seiring dengan kepadatan lalu lintas angkutan batubara ini di ruas jalan kabupaten Lahat.

Penandatanganan kesepakatan Asosiasi Angkutan Batubara Kabupaten Lahat, perusahaan pemilik IUP tambang batubara Kabupaten Lahat dan Asosiasi Perkumpulan Hauling Batubara Lahat, di ruang rapat banggar DPRD Sumsel, Sabtu (11/9) malam lalu.(dudy oskandar/rmolsumsel.id)

Sebelumnya diberitakan perusahaan pemilik IUP batubara di Kabupaten Lahat dan Asosiasi Perkumpulan Hauling Batubara Lahat akhirnya menyetujui enam point kesepakatan  diruang rapat banggar DPRD Sumsel, Sabtu (11/9) malam lalu.

Keenam poin kesepakatan itu yakni: (1) Bersedia menurunkan tingkat angka pencemaran udara di bawah ambang batas baku mutu sesuai dengan PP No.22/2021 sebagaimana hasil uji terlampir; (2) Bersedia mentaati aturan jam operasional menimbulkan kemacetan , polusi udara, gangguan psikologi bagi masyarakat di  sekitar aktivitas pengangkutan; (3) Bersedia melakukan  mutasi kendaraan angkutan bukan kendaraan berplat  nomor Sumatera Selatan;

Kemudian, (4) Bersedia mentaati jumlah muatan angkutan agar tidak melebihi muatan dan ukuran Over Dimensi Over Loading (ODOL); (5) Bersedia mengurangi jumlah angkutan  untuk menghindari tingkat kemacetan yang tinggi akibat volume kendaraan yang melintas sangat banyak dan akan membuat kantong parkir angkutan kendaraan batubara; dan (6)  Bersedia memberikan kompensasi  kepada masyarakat yang jelas dan terarah kepada setiap masyarakat yang terdampak debu  dari aktivitas pengangkutan  batubara.

Kesepakatan ini dibuat sebagai tindak lanjut dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan ini terhadap masyarakat, khususnya di kawasan Kecamatan Merapi Barat dan Merapi Timur, Kabupaten Lahat.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kantor Berita RMOLSumsel, proses penambangan batubara diatur pemerintah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Terdapat sejumlah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan tambang sebelum melakukan proses produksi.

Begitu pula dalam proses pengangkutan batubara ini, dimana perusahaan angkutan batubara tersebut wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP-OPK), yang diatur lebih terperinci dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki : (a) IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan; (b) IUP Operasi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian; dan/atau (c) IUP Operasi Produksi.

IUP-OPK ini diberikan oleh: (1) IUP-OPK dari Menteri untuk hasil tambang yang diolah berasal dari Provinsi dengan lokasi pengolahan dan pemurnian dilakukan lintas Provinsi; (2) IUP-OPK diberikan oleh Gubernur untuk hasil tambang yang diolah berasal dari beberapa Kota dalam satu Provinsi dengan lokasi pengolahan dan pemurnian dilakukan lintas Kabupaten atau Kota; dan (3) IUP-OPK dari Bupati atau Wali Kota untuk hasil tambang yang diolah berasal dari satu Kabupaten atau Kota dengan lokasi pengolahan dan pemurnian dilakukan dalam satu Kabupaten atau Kota.

Sehingga, apabila tidak memiliki IUP OPK angkut jual, aktivitas perusahaan atau aktivitas angkutan batubara yang dilakukan itu bisa disebut bisa dikategorikan ilegal ataupun apabila tetap dilakukan pembenaran terhadap aktivitas yang salah itu, maka terjadi penyampaian laporan yang tidak benar atau keterangan palsu dari perusahaan yang sanksinya diatur dalam Pasal 158 dan 159 UU NO.3 tahun 2020 dengan ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 Miliar.

Lantas, apakah semua perusahaan yang menandatangani kesepakatan dengan DPRD Sumsel tersebut sudah memiliki IUP-OPK Angkut Jual?