Sumatera Selatan Pernah Cetak Mata Uang Sendiri

Seminar hasil kajian koleksi Sejarah Mata Uang Koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan/Dudi Oskandar/rmolsumsel.id
Seminar hasil kajian koleksi Sejarah Mata Uang Koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan/Dudi Oskandar/rmolsumsel.id

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) melalui Museum Negeri Sumatera Selatan Balaputra Dewa menggelar seminar hasil kajian koleksi" Sejarah Mata Uang Koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan", Selasa (6/7) di aula Museum Negeri Sumatera Selatan Balaputra Dewa.


Dengan narasumber anggota DPRD Sumsel H Budiarto Marsul, sejarawan Sumsel Syafruddin Yusuf, Aries Chandra Wijaya dan Azhari keduanya nara sumber Bank Indonesia Sumatera Selatan dan moderator Hj Rita Nefrida Spd MM.

Menurut Sejarawan Sumsel Syafruddin Yusuf , akibat agresi militer pertama Belanda bulan Juli 1947 maka pemerintahan sipil keresidenan Palembang yang dipimpin oleh Residen Abdul Rozak berpindah dari Lahat ke Curup.

Hal yang sama dilakukan oleh Gubernur Muda Sumatera Selatan drg. M. Isa selaku pimpinan pemerintahan Sub Provinsi Sumsel melaksanakan pemerintahan dari Curup hingga terjadinya Agresi Militer kedua bulan Desember 1948.

Sementara Markas Subkoss yang dipimpin Panglima Subkoss Kolonel Maludin Simbolon berada di Lubuk Linggau dan Markas Sub  Teriritorial Palembang  (STP) dengan Komandan STP Letkol Bambang Utoyo berada di Muara Beliti. 

Disisi lain kebutuhan dan situasi perang kemerdekaan mengharuskan  daerah untuk mengatasi perekonomian saat itu dan sekaligus mempertahankan kemerdekaan.

Selain pemindahan markas Subkoss dan STP, dilakukan pula pembentukan  basis pertahanan baru di Sumatera Selatan dengan tujuan untuk melindungi markas Subkoss dan STP. Dalam rangka itu dibentuk empat daerah pertahanan utama, yaitu Pagaralam, Tebing Tinggi, Babat Toman dan Muara Dua.

Dari keempat daerah pertahanan ini hanya Pagaralam yang mengeluarkan Mata Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yaitu uang lokal yang bertuliskan cheq sebagai tanda pembayaran yang sah dengan nilai Nominal cheq adalah lima puluh dan seratus rupiah.  

“Cheq ini dikeluarkan pada  1 Agustus 1947 dan ditandatangani oleh Komandan Brigade Garuda Dempo Letkol Harun Sohar. Sementara itu dalam rangka menjalin kerjasama dan kesatuan antara pemerintah dan pihak militer, maka dibentuklah Dewan Pertahanan Daerah Palembang yang disingkat DPDP,” katanya.

Dewan ini menurutnya bertugas untuk mengatur dan tetap menjaga  kesinambungan pemerintahan. Dalam mengatasi masalah keuangan yang terganggu akibat adanya agresi militer belanda, maka dikeluarkan uang Mandat DPDP pada 1 Agustus 1947 dengan nilai nominal lima puluh rupiah. Uang ini ditandatangani oleh Residen Palembang Abdul Rozak. Selain itu dikeluarkan pula nominal seribu rupiah.

“Sebagaimana diuraikan terdahulu, agresi Belanda pertama menyebabkan terjadinya perpindahan ibukota atau pusat pemerintahan sub provinsi Sumatera Selatan ke Curup. Selama berada di Curup Gubernur Muda M. Isa sempat mencetak uang kertas ORIDA dengan nilai Nominal Rp 40,- Uang kertas ini berwarna biru  dan ditanda tangani oleh dr. M. Isa,” katanya.

Pencetakan uang dilakukan  di rumah  Sanusi Chan di Pasar Tengah Curup. Uang kertas ini dikeluarkan pada 17 Januari 1949.  Mengingat uang ini dikeluarkan oleh Gubernur Muda Sumatera Selatan yang meliputi empat keresidenan yaitu keresidenan Palembang, Lampung, Bengkulu dan Bangka-Belitung, maka uang ini berlaku di keempat keresidenan tersebut.

“Selanjutnya sub provinsi Sumatera Selatan pada masa  Perang Kemerdekaan berubah menjadi Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan (DMISS) dipimpin oleh Gubernur Militer A.K Gani,” katanya.

Sedangkan  Gubernur muda M.Isa diangkat oleh pemerintah pusat sebagai Komisaris Pemerintah Pusat wilayah Sumatera Selatan. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan di Sumatera Selatan keduanya saling bergandengan  dan  bersifat mobil (berpindah-pindah).

“Wilayah Sumatera Selatan yang  sangat luas mengharuskan para pemimpin perjuangan tersebut ikut bergerilya guna menanamkan kesadaran pada rakyat untuk tetap setia dan membela negara Indonesia yang merdeka. Melalui perjalanan kelililing itu mereka mengetahui kesulitan ekonomi yang dialami oleh masyarakat,” katanya.

Kesulitan ekonomi dan kebutuhan akan dana perjuangan yang mendesak ini menurut Syafruddin, membuat A.K  Gani  berinisiatif untuk mengeluarkan uang daerah Sumatera Selatan. Pencetakan uang pun dilakukan di tengah medan perjuangan di Sumatera Selatan antara Bengkulu dan Lubuk Linggau. 

“Situasi perang kemerdekaan menghadapi Belanda memungkinkan tempat pencetakan uang itu dirahasiakan agar tidak diketahui Belanda. Oleh karena itu uang yang dikeluarkan  hanya menyebutkan tempat pengeluarannya di Bukit Barisan,” kata Dosen Sejarah Universitas Sriwijaya (Unsri) ini.

Uang ini dikeluarkan pada 1 Mei 1949 dan dikenal dengan nama Uang Bukit Barisan atau uang A.K Gani. Nilai nominal uang  adalah dua puluh rupiah dan ditandangani oleh A.K Gani. Uang kertas ini berwarna merah dengan ukuran 58 mm x 117 mm.

“Sementara itu Keresidenan Palembang yang wilayahnya saat itu meliputi  wilayah provinsi Sumatera Selatan saat ini dapat melaksanakan pemerintahan sipil dipimpin oleh Residen Abdul Razak. Dalam upaya untuk mengatasi permasalahan ekonomi saat itu, maka Residen Palembang mendapat mandat dari DPDP untuk melakukan pencetakan uang,” katanya.

Kegiatan pencetakan uang ini dilakukan di Tanjung Sakti. Tugas pembuatan dipimpin oleh Kapten Rusnawi dengan dibantu oleh Letnan M. Nur Mahadam, Camat Perang Nur Iskandar, dan  Dulhaq.

Pembuatan ORIDA Palembang dilakukan di rumah Kiagus Kosim dan Kiagus Thaib di dusun Paser lame Tanjung Sakti.   Meskipun dicetak di Tanjung sakti, namun  pada uang kertas tersebut  tertulis Palembang.

Hal ini bisa dimaklumi karena Tanjung sakti hanyalah sebuah kewedanaan, sedangkan Palembang berstatus sebagai ibukota provinsi dan keresidenan Palembang.

Adapun nominal uang yang dicetak di Tanjung Sakti ini menurutnya  Rp.1000,- dan ditandatangani oleh Residen Abdul Rozak. Selain nominal seribu rupiah pada 17 Januari 1949 itu dikeluarkan pula uang kertas  berupa cheq dengan nilai nominal sepuluh rupiah. Uang ini ditandatangani oleh Letkol Bambang Utoyo dan Abdul Rozak . 

“Pada 17 April 1949, keresidenan Palembang mengeluarkan kembali cheq senilai lima puluh rupiah yang ditandatangani oleh Residen Abdul Rozak dan Komandan STP Letkol Bambang Utoyo,” katanya.

Lalu  uang yang dikeluarkan ini berwarna putih kecoklatan berukuran 79 mm x 156  mm dengan nilai nominal lima puluh rupiah. Hal yang sama dikeluarkan kembali pada 6 Juli 1949 dengan ukuran 70mm x 128 mm  dengan nilai nominal  empat puluh rupiah dan berwarna  merah, abu-abu, dan oranye.

“Emisi terakhir yang dikeluarkan oleh residen Palembang adalah  18 Nopember 1949. Emisi terakhir ini berukuran  63 mm x 123 mm dengan bahan dasar putih sedangkan tulisannya berwarna hitam. Nominal uang adalah lima puluh rupiah,” katanya.

Selanjutnya tahun 1949 dicapai kesepakatan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Keputusan terpenting dari KMB tersebut adalah pertama Belanda memberikan pengakuan kedaulatan Indonesia dan kedua bentuk negara adalah Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari 16 negara bagian.

“Republik Indonesia menjadi salah satu dari 16 negara bagian tersebut. Konsekwensi dari perubahan bentuk negara tersebut berpangaruh terhadap masalah keuangan RI, dimana mata uang yang ada ditarik dari peredaran berganti menjadi mata uang RIS,”  katanya.