Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang disuarakan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang untuk mengatasi persoalan sampah di Palembang dianggap kontraproduktif dan merugikan masyarakat.
- Optimis Tembus Delapan Besar, PS Palembang Siap Berlaga di Liga 4 Nasional
- 3.932 ASN Dilantik Wali Kota Palembang, Ratu Dewa Janjikan TPP untuk PPPK
- Wakil Wali Kota Palembang Sidak Kantor Kecamatan, Dorong Budaya Melayani
Baca Juga
Program tersebut justru dinilai menyesatkan lantaran Pemkot Palembang tidak mengerti akan dampak dari pembangunan dan operasional PLTSa tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, M Hairul Sobri saat dihubungi RMOLSumsel, Rabu (9/3).
"Seharusnya dengan kondisi yang ada saat ini, pengelolaan sampah di Palembang masih dapat dilakukan dengan cara Reuse, Reduce dan Recyle atau 3R. Sebab, pengelolaan sampah dengan cara dibakar tidak sangat efektif untuk menghasilkan listrik," ujarnya.
Sehingga dia menyayangkan langkah yang diambil Pemkot Palembang dengan menandatangani kerjasama dengan pihak ketiga yakni PT IGP, yang disebutnya sebagai upaya lepas tanggung jawab dari pemerintah.
Melansir dari catatan Walhi Jakarta, Sobri menyebut banyak sekali kerugian yang ditimbulkan dari pembangunan PLTSa. Pada tahun 2019, sekelompok peneliti menemukan adanya dioksin dalam kandungan telur ayam ternak milik warga di desa Bangun, Surabaya, Jawa Timur. Dioksin pada telur tersebut diduga kuat berhubungan dengan aktivitas pabrik tahu yang mengunakan sampah plastik sebagai bahan bakar produksi. Lokasi pabrik tahu yang berdekatan dengan pemukiman dan peternakan membuat ayam-ayam di desa Bangun terpapar senyawa beracun yang berasal dari aktivitas pembakaran tersebut..

Kejadian di atas merupakan gambaran nyata dari dampak buruk pemanfaatan sampah sebagai sumber energi listrik yang kini diadopsi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang tengah dicanangkan di beberapa kota, termasuk Jakarta. Sekilas memang terdengar baik dan ramah lingkungan. Sampah yang sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah lingkungan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Tapi faktanya, pembakaran sampah seperti PLTSa tidaklah seramah kedengarannya.
"Paling tidak, ada dua alasan utama mengapa pemerintah patut melupakan rencana pembangunan PLTSa. Pertama tidak baik untuk lingkungan. Dan kedua tidak baik untuk kesehatan. Selain dua hal tersebut, ada lagi satu alasan mendasar mengapa proyek ini tidak berguna, yaitu mubadzir," tulis catatan tersebut.
Tidak berhenti sampai disitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 juga sempat merilis kajian terkait rencana pembangunan PLTSa. Dari hasil kajiannya, KPK menemukan bahwa proyek PLTSa tidaklah efektif dan membebani anggaran pemerintah daerah (Pemda) serta Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Ada dua aspek yang dinilai bermasalah oleh KPK, yakni model bisnis yang memberatkan dan basis teknologi yang belum memadai. Dalam hal model bisnis, PLTSa akan membankan pemda dalam sejumlah tahapan seperti studi kelayakan, pengumpulan sampah, dan tipping fee atau biaya layanan pengolahan sampah (BLPS). Belum lagi sisi efektivitas dari jumlah sampah yang diproduksi kota Palembang dengan yang dibutuhkan oleh PLTSa itu, dimana tidak semua sampah bisa dibakar dan diolah menjadi energi listrik.
Oleh sebab itu, kata Sobri, Pemkot Palembang seharusnya melakukan evaluasi secara komprehensif dimana sistem 3R yang dulu dikenal pada era kepemimpinan Wali Kota Eddy Santana, masih bisa diterapkan dengan catatan konsisten dan berkomitmen untuk mengurangi sampah di kota Palembang.
"Jika sampah plastik dan rumah tangga dikelola dengan baik maka akan menjadi potensi tinggi menambah pendapatan Kota Palembang. Malah ini mengeluarkan uang untuk beli sampah dan menghasilkan listrik yang tidak seberapa, logikanya kemana?" tanya Sobri.

Walhi Sumsel: Wali Kota Tanpa Logika
Berdasarkan draft kerjasama antara Pemkot Palembang dan pihak ketiga yakni PT Indo Green Power, Pemkot Palembang selaku pihak pertama wajib untuk memenuhi beberapa aturan diantaranya;
a. melakukan pengumpulan Sampah dalam Wilayah Pengelolaan Sampah untuk selanjutnya dikirim ke Tempat Terima Sampah (TTS) dalam lokasi proyek PIHAK KEDUA dengan tanggung jawab penuh PIHAK KESATU dan kemudian ditandatangani Berita Acara Pasokan Sampah oleh Perwakilan yang sah dari PARA PIHAK.
Dimana, sejak beroperasi Pemkot Palembang harus memasok sampah minimal 800 ton perhari selama satu tahun. Kemudian di tahun kedua, Pemkot Palembang wajib memasok sampah minimal 900 ton per hari. Lalu, ditahun ketiga sampai seterusnya Pemkot Palembang wajib memenuhi pasokan sampah sebanyak 1000 ton per hari. Sampah yang dipasok merupakan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga dari kawasan komersial, kawasan industri, khusus hingga fasilitas lainnya.
b. Pemkot Palembang harus menganggarkan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) dalam APBD berdasarkan ketentuan dalam perjanjian dan membayarkannya kepada pihak ke dua yakni PT Indo Green Power (IGP).
Pembayaran BLPS ini sendiri yaitu nilai BLPS yang berlaku tahun operasi relevan dikali jumlah pasokan sampah harian. Dimana, BLPS tahun pertama yakni sebesar Rp400 ribu per tonase. Sedangkan, ditahun berikutnya meningkat hingga 5 persen.
Dalam draft kerjasama tersebut, setiap dan semua aset proyek PLTSa baik tanah, bangunan, mesin, perlayan dan lain sebagainya miliki atau dibawah penguasaan pihak kedua. Dalam keadaan apapun tidak akan pernah menjadi atau dialihkan untuk menjadi aset miliki daerah, pemerintah pusat atau Pemkot Palembang.
Direktur Walhi Sumsel, Hairul Sobri menyayangkan hal ini. Dalam draft tersebut, Pemkot Palembang dan masyarakat Palembang dirugikan. Oleh sebab itulah dia mempertanyakan kepemimpinan Wali Kota Harnojoyo yang dinilai tidak menggunakan logika dan tidak membela masa depan masyarakat Palembang yang telah menunjuknya sebagai Wali Kota.
"Proyek ini akan berjalan tahunan, mungkin puluhan tahun. Masyarakat yang merasakan dampaknya dari berbagai sisi, utamanya kesehatan. Sementara Harnojoyo? Dua tahun lagi dia sudah tidak menjabat. Siapa yang diuntungkan?" kembali Sobri bertanya.

Penolakan Juga Datang dari Anggota DPRD Sumsel
Penolakan PSEL ini juga datang dari anggota DPRD Palembang yakni dari Fraksi PKS, Ridwan Saiman. Bahkan, menurutnya perjanjian kerjasama PSEL ini menyimpang dari Peraturan Pemerintah.
Dia sempat mengingatkan kepada Pemkot Palembang terkait perjanjian tersebut menyimpang dari peraturan pemerintah. Bahkan, pihaknya telah meminta Pemkot Palembang untuk mendatangkan langsung pihak ketiga yakni PT IGP. Namun, Pemkot Palembang tidak juga mendatangkannya. Menurutnya, tidak ada hasil penjualan listrik dari PT IGP yang didapatkan dari Pemkot Palembang. Karena, dalam draft kerjasama hasil ini sepenuhnya milik pengelola.
"Padahal, bahan bakunya dipasok oleh Pemkot Palembang, tapi mereka mendapatkan penghasilan dengan menjual listrik ke PLN," katanya.
Artinya, PT IGP mendapatkan revenue dua kali yakni ketika mereka menerima bahan baku dan ketika mereka menjual barang jadi. Sedangkan Pemkot Palembang tidak mendapatkan apa-apa, selain masalah sampah yang janjinya akan teratasi. Menurutnya, perjanjian ini lebih diperparah dengan biaya yang harus dikeluarkan Pemkot Palembang yakni Rp400 ribu per tonase, dengan kewajiban pasokan mencapai 1000 ton perhari. Dengan kondisi ini, maka Pemkot harus membayar Rp400 juta perharinya. Ini tentu memberatkan APBD Palembang.

"Hingga saat ini belum ada perjanjian akan dibantu oleh pemerintah pusat dan provinsi," ujarnya.
Dengan dilaksanakannya perjanjian menurutnya akan menambah beban rakyat pada dua hal. Yang pertama retribusi sampah akan meningkat. “Yang kedua biaya listrik hasil pengolahan sampah ini yang nilai beli PLN lebih tinggi akan mengakibatkan listrik yang dijual kepada rakyat akan semakin mahal,” pungkasnya.
- Optimis Tembus Delapan Besar, PS Palembang Siap Berlaga di Liga 4 Nasional
- 3.932 ASN Dilantik Wali Kota Palembang, Ratu Dewa Janjikan TPP untuk PPPK
- Wakil Wali Kota Palembang Sidak Kantor Kecamatan, Dorong Budaya Melayani