Protes Anti-Pemerintah di Guinea, Empat Tewas

Protes Anti-Pemerintah di Guinea/ist
Protes Anti-Pemerintah di Guinea/ist

Aksi protes anti-pemerintah hari kedua telah memakan korban jiwa di ibu kota Guinea, Conakry pada Jumat(28/7). Sedikitnya empat orang meninggal dunia dan beberapa lainnya terluka akibat ditembak oleh aparat keamanan, menurut laporan dari koalisi oposisi.


Dikutip dari Reuters, protes dipicu oleh kekhawatiran masyarakat terhadap junta penguasa Guinea yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta pada September lalu, junta dianggap tidak cukup cepat dalam memulihkan pemerintah sipil.

"FNDC sangat terkejut dan marah dengan hilangnya nyawa manusia yang tercatat pada hari Jumat 29 Juli," kata Front Nasional untuk Pertahanan Konstitusi (FNDC) dalam sebuah pernyataan.

Empat kematian dilaporkan oleh kelompok pemantau dan anggota keluarga korban, beberapa orang terluka akibat tembakan yang lima di antaranya dalam kondisi kritis, tambahnya.

Sementara pihak berwenang belum buka suara terkait protes tersebut, namun menurut seorang aktivis hak asasi manusia yang bekerja sama dengan keluarga korban mengatakan kepada Reuters bahwa jumlah korban tewas dapat dipercaya.

Menurut informasi dari penduduk sekitar, pada Jumat malam pengunjuk rasa mulai bentrok dengan pasukan keamanan, mereka mengaku mendengar suara tembakan di beberapa lingkungan Conakry.

Pada hari sebelumnya, Ibrahima Diallo salah satu pemimpin FNDC telah mencatat satu kematian dan beberapa terluka, ia mengatakan kepada wartawan lebih dari 100 orang ditangkap kemudian dikirim ke kamp militer.

Jaksa Agung Guinea saat ini memerintahkan penyelidikan yudisial terhadap mereka yang bertanggung jawab atas aksi pada hari Kamis tersebut yang menewaskan satu orang.

Polisi tidak mengkonfirmasi kematian itu. Namun laporan dari seorang senior polisi yang menolak disebutkan namanya mengatakan bahwa 88 orang terluka akibat aksi protes ini, termasuk 12 polisi.

Demonstrasi minggu ini dikabarkan merupakan protes besar kedua terhadap junta dalam beberapa bulan terakhir. Pemimpin kudeta dan Presiden sementara Mamady Doumbouya telah mengusulkan transisi 36 bulan ke pemilihan, yang kemudian telah ditolak oleh para pemimpin regional dan politisi oposisi.

Hal ini lantas membuat berbagai pihak mengkritik usulan tersebut, mereka menganggap bahwa Presiden sementara terlalu lama mengulur waktu dalam memulihkan pemerintahan sipil. Menyusul kritik terhadap garis waktu 36 bulan, junta melarang semua demonstrasi publik beberapa bulan lalu.

Sebelumnya, negara ini dipimpin oleh Presiden Alpha Conde, namun karena ia mencoba mempertahankan kekuasaan dengan mengubah konstitusi yang memungkinkan dirinya bisa kembali mencalonkan diri untuk lebih dari tiga kali masa jabatan, ia digulingkan oleh militer Guinea. Doumbouya mengambil alih pemerintahan setelah memimpin kudeta terhadap Presiden Alpha Conde pada 5 September lalu.