Potensi Makanan Halal di RI Capai Rp2.380 Triliun

Wakil Ketua Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Agung Firman Sampurna. Foto: Net
Wakil Ketua Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Agung Firman Sampurna. Foto: Net

Wakil Ketua Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Agung Firman Sampurna mengajak umat Islam untuk memaksimalkan potensi ekonomi syariah yang ada di Indonesia. Khususnya di sektor makanan halal. Sebab, potensi ekonomi dari sektor tersebut di Indonesia mencapai 170 miliar dolar AS atau sekitar Rp2.380 triliun.


“Potensi adalah bagian dari nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, dan bagian dari mensyukurinya adalah dengan memanfaatkan potensi menjadi peluang untuk memperkuat gerakan ekonomi umat,” kata Agung dalam acara Halal Bihalal Pengurus MES di Gedung The Tower, Jakarta, Jumat (4/6).

Pria yang jua menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ini menyebut, selain makanan halal, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga berkembang cukup baik di Indonesia yakni aset keuangan syariah sebesar 82 miliar dolar AS, busana muslim 20 miliar dolar AS, media dan rekreasi halal 10 miliar dolar AS, wisata halal 10 miliar dolar AS, farmasi halal 5,2 miliar dolar AS dan kosmetik halal 3,9 miliar dolar AS.

“Dengan potensi ekonomi sebesar itu, sudah saatnya umat Islam di Indonesia mengambil peran penting dalam perekonomian,” bebernya.

Lulusan Universitas Sriwijaya tersebut menilai MES sudah seharusnya memberi perhatian secara khusus bagi pengembangan makanan halal, baik dalam skala UMKM maupun industri, dengan menempatkan partisipasi dari umat muslim sebagai aktor utama dari gerakan ekonomi tersebut.

“Hanya saja, potensi tersebut bukan tanpa hambatan. Inilah yang harus dicermati lebih jauh lagi,” tuturnya.

Ia mencatat ada 4 tantangan yang harus diselesaikan dalam mewujudkan potensi-potensi tersebut. Pertama, masalah permodalan yang dihadapi lembaga keuangan syariah. Sehingga dinilai masih menghambat perluasan jangkauan pemberian pembiayaan dan pendanaan bagi pelaku usaha dengan biaya yang lebih rendah. Kedua, perlunya  percepatan pengembangan inovasi produk syariah agar lebih variatif dan ramah terhadap pasar.

“Selanjutnya masalah klise, masih relatif belum memadainya SDM yang memiliki integritas dan kompetensi untuk mengelola dana umat pada berbagai sektor ekonomi dan bisnis syariah,” sambungnya.

Sementara yang terakhir adalah keterbatasan infrastruktur di ekonomi dan keuangan syariah juga perlu diatasi sehingga layanan keuangan syariah, termasuk kebutuhan atas perluasan pemanfaatan teknologi.