PKB Sumsel Usul Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD, Ini Alasannya

Ketua DPW PKB Sumsel Ramlan Holdan. (Dudy Oskandar/rmolsumsel.id)
Ketua DPW PKB Sumsel Ramlan Holdan. (Dudy Oskandar/rmolsumsel.id)

Maraknya korupsi yang melibatkan kepala daerah dan legislatif disinyalir salah satunya disebabkan oleh tingginya ongkos politik. Hal itu membuat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendorong perubahan sistem Pemilu.


“Karena ongkos politik (Pilkada) memang sangat mahal. Inilah penyebab utama korupsi merajalela. Sudah sepatutnya sistem Pilkada secara langsung harus diubah dengan dikembalikan kepada parlemen untuk memilih kepala daerah,” kata Ketua DPW PKB Provinsi Sumsel, Ramlan Holdan, Sabtu (1/01).

Menurut Ramlan, tingginya ongkos politik itu untuk “membeli” suara rakyat.

“Karena memang rakyat sangat membutuhkan dana. Di mana banyak rakyat belum dikatakan sejahtera. Sehingga mereka memang mengharapkan serta mau menerima apa yang diberikan oleh calon kepala daerah maupun legislatif,” ujar mantan anggota DPRD Sumsel ini.

Dampak negatif lain yang dirasakan dengan Pilkada langsung ini adalah tidak dapat berjalannya jenjang karier seorang ASN. Pilkada langsung membuat sekat-sekat yang terjadi di kalangan ASN. Buntutnya, jika tidak mengikuti keinginan sang calon, akan terdampak nantinya saat sang calon memenangkan Pilkada. Sehingga Ramlan, menilai memang sistem Pilkada sudah selayaknya diubah.

“Bayangkan saat ini, tingginya cost politik. Untuk menjadi seorang Kades harus memiliki sedikitnya Rp300 juta. Dan money politic seperti ini tidak dapat dibendung,” ucapnya.

Lebih lanjut Ramlan menyampaikan, meski Indonesia menganut demokrasi Pancasila, tetapi pada praktiknya selalu terjadi kapitalisasi dan oligarki.

“Buat memberantas korupsi memang jauh panggang dari api. Namun, perlu kita sikapi, kita kritisi. Harapannya teman-teman wartawan menjadi ujung tombak sebab tanpa adanya kritik peran parlemen tidak akan maksimal,” ujarnya.

Pengamat politik Bagindo Togar mengatakan, peran dari legislatif sejauh ini memang belum maksimal. Bahkan menurutnya, dalam memberikan bentuk transparasi bahkan sekedar memberikan keterangan pada publik hanya ada orang-orang tertentu saja.

Dia juga berharap kasus parlemen yang terjadi di Muara Enim, menjadi cerminan. Sehingga parlemen di Sumsel tidak terjebak dalam pusaran permasalahan hukum. Dia juga berharap legislatif untuk lebih getol menyoroti kinerja pemerintahan.

“Soroti kinerja Pemerintah dalam hal ini gubernur, wali kota dan bupati. Kami di belakang untuk mendukung,” katanya.

Ketua DPRD Sumsel, RA Anita Noeringhati mengaku tidak alergi terhadap kritik dan saran yang diberikan masyarakat, LSM maupun wartawan.

Bahkan menurutnya itu akan menjadi tolok ukur bagi parlemen untuk dapat bekerja lebih baik lagi ke depannya.

Terkait dengan fungsi DPRD sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk masalah budgeting, legislasi serta pengawasan, Anita menyampaikan, sejauh ini DPRD hanya sebatas membahas serta menyetujui saja.

“Tapi fungsi yang real adalah eksekutif. Jika kita gambarkan makanan siap saji, DPRD hanya ikut berbicara. DPRD belum bisa mandiri tentang pengelolaan keuangan. Mengenai legislasi, tentunya kita bukan legislator. Kita hanya badan perencana peraturan perundangan daerah bukan legislator di mana DPRD dan eksekutif merujuk pada undang-undang yang lebih tinggi,” kata politisi Partai Golkar ini.

Terkait dengan adanya kritik masalah kinerja, Anita menegaskan DPRD tidak hanya duduk manis.

“Kami tidak akan lupa dengan tugas kami kepada masyarakat. Begitupula dengan adanya beberapa kejadian luar biasa seperti musibah banjir. Dalam hal ini DPRD sudah membahasnya bersama gubernur, wali kota bahkan bupati. Tidak semua yang kita bahas mesti sampai di ruang umum,” tuturnya.