Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Balai Pemasyarakatan Kelas II Lahat, Marendi Pusaka/ist
Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Balai Pemasyarakatan Kelas II Lahat, Marendi Pusaka/ist

PEMERINTAH sebagai pengemban kewenangan terutama yang berkenan dengan pemberian perlindungan terhadap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana.

Terkait dengan perlindungan korban, satu hal prinsipil yang harus diperhatikan bahwa konstitusi telah menegaskan bahwa setiap aturan yang akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum berlaku, karena disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Penegakan hukum di Indonesia perhatian mengenai korban tidak terakomodasi dengan serius. Hanya sekilas dituangkan dalam pengaturan acara pidana khususnya tentang Ganti Rugi dan Rehabilitasi sebagaimana di atur dalam Bab XII Bagian Kesatu Ganti Kerugian dari Pasal 95 sampai dengan Pasal 96 dan dalam Bab XII Bagian Kedua Rehabilitasi pada Pasal 97 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 point 2 bahwa Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Budaya hukum ini harus diwujudkan dengan perubahan perilaku aparat penegak hukum dalam melaksanakan Sistem Peradilan Pidana (SPP). Dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia, perlu menaruh perhatian khusus terhadap masalah perilaku bangsa.

Kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum tetapi menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang lebih luas. Indonesia sebagai negara hukum, wajib mengedepankan harkat manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat dan derajat, maka negara sesungguhnya mempunyai kewajiban untuk mengakui, menjamin dan melindungi warga negara dalam hal kepastian dan perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1), Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Perhatian kriminologi dan sistem peradilan pidana ditujukan kepada pelaku tindak pidana dalam waktu panjang. Kepentingan saksi dan korban sering diabaikan. Ketika terjadi kejahatan, saksi dan korban tidak mendapatkan perlindungan, kepentingannya diambil alih negara, ketika menuntut dan menjatuhkan pidana, kepentingan saksi dan korban kurang diperhatikan.

Hak-hak tersangka atau terdakwa atau terpidana mendapat banyak perhatian dalam sistem peradilan pidana. Kriminologi terlalu fokus pada pelaku. Saksi dan korban kurang mendapat perhatian, hal ini menimbulkan ketidakpuasan.

Peranan korban diposisikan sebagai saksi tanpa diberi kesempatan untuk memilih bersedia atau tidak untuk bisa membagikan informasi tersebut, tanpa ditanyakan apa saja yang dia inginkan untuk mengembalikan kerugian yang dialami. Kepentingannya diwakili oleh negara melalui jaksa yang hanya fokus membalas kejahatan dengan hukuman buat pelaku.

Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Korban yang dilindungi adalah dari tindak pidana korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, narkotika, phisikotropika, seksual terhadap anak dan tindak pidana lain yang posisi korban dihadapkan pada situasi membahayakan jiwanya.

Hak-hak yang diperoleh korban adalah hak sebelum proses peradilan, hak selama proses peradilan dan hak setelah proses peradilan. Hak sebelum proses peradilan misalnya hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta benda, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiannya yang akan, sedang atau telah diberikannya.

Hak selama proses peradilan, misalnya hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, hak untuk bebas dari pertanyaan yang menyudutkan dan hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.

Hak setelah proses peradilan, misalnya hak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan, hak untuk mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan dan hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan. Harapan penulis untuk ke depannya sistem hukum pidana nasional (peradilan pidana) dalam negara hukum Indonesia menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

 Seyogyanya tidak adanya pengurangan dan limitasi hak asasi manusia secara diskriminatif terhadap kepentingan masyarakat tertentu, melainkan menjunjung tinggi hak individu sebagai manusia secara utuh di dalam kehidupan masyarakat menjadikan suatu kepentingan publik lebih kuat dan menjadi sebuah gerakan sosial.

*Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Balai Pemasyarakatan Kelas II Lahat, Kanwil Kemenkumham Sumsel