Pemerintah Didesak Batasi Kapasitas Angkut Tongkang Batubara, Sungai Musi Bukan Hanya Untuk Oligarki

Kolase foto karya pewarta foto Abriansyah Liberto yang menggambarkan bagaimana kondisi Sungai Musi saat ini, yang dipamerkan dalam festival media AJI Palembang, Desember 2023 lalu. (ist/rmolsumsel.id)
Kolase foto karya pewarta foto Abriansyah Liberto yang menggambarkan bagaimana kondisi Sungai Musi saat ini, yang dipamerkan dalam festival media AJI Palembang, Desember 2023 lalu. (ist/rmolsumsel.id)

Sungai Musi yang menjadi urat nadi ekonomi Palembang pada kenyataannya sudah sangat terbebani dengan pencemaran lingkungan. 


Beberapa tahun ke belakang, pencemaran itu semakin diperparah dengan meningkatnya lalu lintas pelayaran angkutan batu bara. Nilai ekonomis yang didapat, pada kenyataannya tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan masa depan kota Palembang. 

Pakar Hidrologi, Peneliti Lingkungan dan Sungai, Prof Dato' Achmad Syarifuddin saat menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Kantor Berita RMOL Sumsel beberapa waktu lalu. (dok/rmolsumsel.id)

Terkait ini, Pakar Hidrologi, Peneliti Lingkungan dan Sungai, Prof Dato' Achmad Syarifuddin berpendapat, pemerintah perlu melakukan kajian hidrodinamika Sungai Musi sebelum menetapkan regulasi baru yang mengatur lalu lintas tongkang batu bara. 

Kajian itu diperlukan karena menyangkut transportasi air yang banyak dimanfaatkan perusahaan dalam mengangkut material batubara. 

"Kalau sekarang tidak ada (kajian Hidrodinamika) tentang Sungai Musi itu. Belum ada. Makanya harus dilakukan agar pemerintah mengetahui data-data permasalahan yang akan timbul di kemudian hari. Agar bisa menyusun langkah mitigasi dan pengawasan yang terukur dari dinas terkait," kata Achmad.

Sebab, aturan yang ada saat ini terkesan dikesampingkan dengan dalih peningkatan ekonomi. Padahal, masyarakat dinilai tidak signifikan merasakan dampaknya. Sehingga, Guru besar Universitas Bina Darma itu mengatakan, regulasi itu nantinya akan bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada. 

"Perda terkait transportasi Sungai itu perlu ditinjau ulang. Harus ada aturan yang jelas dan pengawasan yang ketat dari dinas terkait yang mengatur tongkang batubara berlayar di Sungai Musi," jelasnya.

Semakin Tinggi Produksi, Semakin Besar Ancaman

Peningkatan produksi batu bara di Sumsel tentu menyumbang pemasukan bagi daerah penghasil atau pemerintah dalam arti yang lebih luas. Namun menurut Prof Achmad, meningkatnya produksi ini akan berimbas pada peningkatan ancaman dalam akifitas pertambangan tersebut. 

"Meningkatnya produksi, akan meningkat pula pengiriman (batu bara). Tentu akan semakin banyak kapal tongkang yang berlayar di Sungai Musi. Ancaman terhadap ekosistem sungai, atau bahkan kecelakaan tentu akan meningkat pula," jelasnya. 

Merunut pada permasalahan yang muncul ini, setidaknya menurut dia ada tiga faktor yang menjadi penyebab. Pertama adalah kondisi iklim dan cuaca, misalnya angin yang kencang serta arus yang deras. Kedua adalah mengenai human error atau kelalaian operator, lalu yang terakhir adalah mengenai pengawasan dari regulator. 

"Kita tidak pernah tahu struktur Sungai Musi itu seperti apa. Ketika batubara penuh, tahunya langsung berlayar, kejar target. Padahal untuk berlayar itu harus tahu juga kondisi iklim, cuaca, arus dan gelombang. Sehingga tidak bisa dipaksa untuk berlayar," ungkapnya. 

Mengenai kompetensi, seperti yang terlihat secara kasat mata dalam kejadian terbaru, yakni tongkang pengangkut batu bara yang menabrak dermaga milik Pemkot Palembang Selasa (2/1), Prof Achmad menilai perlu ada evaluasi. Bagaimana kemudian tongkang dengan kapasitas 9.000 MT batu bara itu ditarik hanya dengan satu Tugboat. 

"Nah ini jelas human erorr karena tidak sesuai perhitungan. Perusahaan seperti ini harus dievaluasi jangan sampai kejadian ini terulang," tegasnya. Terakhir, menurutnya adalah bagaimana pemerintah tegas terutama menyangkut dimensi, ataupun batasan beban angkut tongkang. 

Sebab sampai saat ini belum ada keterangan jelas mengenai batasan kapasitas tongkang yang diperbolehkan melintas di perairan Sungai Musi. "Setiap tongkang muatannya berbeda-beda dan berapa kali boleh melintas dalam sehari. Kalau melebihi, tidak boleh berlayar. Jangan dipaksa mengangkut sebanyak-banyaknya. (Sanksi) harus tegas," katanya.

Belum lagi, tambah Achmad, lalu lintas tongkang batu bara di Sungai Musi yang mengancam nyawa manusia. Seperti sebelum ini pada kejadian di perairan Sungai Musi, yang secara kebetulan juga melibatkan tugboat milik PT Karya Pacific Shipping yang mengangkut batu bara. 

"Karena dampak dari insiden tongkang itu sangat berbahaya, pertama dampak lingkungan dan kedua nyawa manusia yang sewaktu-waktu terancam," ujarnya. 

Desak Pemerintah Batasi Kapasitas Tongkang Batu Bara

Di sisi lain, sejumlah aktivis lingkungan Sumsel mendesak pemerintah untuk membuat regulasi pembatasan kapasitas angkut tongkang batu bara yang melintas di Sungai Musi. 

Tongkang batu bara yang kerap berlalu lalang di perairan Sungai Musi. (dok/rmolsumsel.id)

Ketua Kawali Lingkungan Hidup (KAWALI) Sumsel, Chandra Anugerah mengatakan, dalam pengamatannya, kapasitas angkut tongkang batu bara yang melintas di Sungai Musi saat ini berkisar antara 8.000-9.000 metrik ton. Jumlah ini, sangat berat bagi Sungai Musi.

"Jika kita lihat, kapasitas tongkang yang melintas ini sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi Sungai Musi saat ini. Apalagi proses pengerukan sungai tidak pernah dilakukan sehingga tinggi muka airnya terus meningkat dan menyebabkan perubahan arus," kata Chandra, Rabu (3/1). 

Dalam konsep pembatasan kapasitas itu, menurut Chandra, idealnya pemerintah memberikan izin maksimal 4.000 -5.000 MT, Sehingga, memberikan ruang gerak bagi kapal lainnya untuk melintas di sungai. Artinya ada perubahan ukuran tongkang yang boleh melintas di bawah Jembatan Ampera. 

"Tongkang yang melintas saat ini memakan badan Sungai Musi. Sehingga, kapal-kapal lainnya menjadi terganggu. Selain itu, tongkang dengan kapasitas lebih kecil akan lebih mudah untuk dikendalikan, resikonya lebih minim," bebernya. 

Tak hanya kapasitas tongkang yang perlu diatur ulang, intensitas pengangkutan juga harus dibatasi. Seperti halnya angkutan tonase berat di jalan raya yang hanya dibatasi lewat pada malam hari. Hal inilah yang selama ini terkesan diabaikan oleh pemerintah. 

"Begitu juga lalu lintas tongkang batu bara yang saat ini sudah cukup padat sehingga rentan terjadi kecelakaan," terangnya. 

Sungai Musi Bukan Hanya Untuk Oligarki

Padatnya lalu lintas angkutan batu bara di Sungai Musi juga menjadi sorotan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel. Bahkan, organisasi penggiat lingkungan ini sudah sejak lama mendorong pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang melarang tongkang batu bara melintas di Sungai Musi. 

Sungai Musi tanpa tongkang batu bara. (ist/rmolsumsel.id)

Seperti disampaikan oleh Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Yuliusman saat dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel terkait insiden tongkang yang merusak dermaga 7 Ulu kemarin. "Kejadian ini bukan yang pertama. Sudah sering. Sepatutnya, pengangkutan ini sudah tidak di Sungai Musi lagi," katanya. 

Sungai Musi, menurut Yuliusman, merupakan jantung kehidupan masyarakat Palembang dan sekitarnya. Mulai dari transportasi speedboat dari dan menuju daerah perairan hingga nelayan yang mencari ikan. Sehingga bukan hanya untuk digunakan oleh angkutan batu bara yang berdimensi dan kapasitas yang besar. 

"Keberadaan tongkang berkapasitas besar ini sangat rawan menimbulkan kecelakaan. Belum lagi debu dan kemungkinan batu bara yang tumpah di sepanjang perjalanan. Artinya kita sudah benar-benar butuh regulasi yang tegas," ungkapnya. Oleh sebab itu, WALHI Sumsel kembali mendesak pemerintah untuk melarang tongkang batu bara melintas di Sungai Musi. 

"Jadi sikap kami tegas yakni pemerintah harus melarang tongkang batu bara melintas Sungai Musi. Ini semata untuk menyelamatkan Sungai Musi dari kerusakan. Pikirkan masa depan Sumsel, masa depan masyarakat yang bergantung di Sungai Musi. Jangan hanya memikirkan perut oligarki pertambangan ini," tegas Yuliusman. 

Namun yang tak kalah penting untuk diperhatikan pula, menurut Yuliusman adalah semakin banyaknya dermaga (pelabuhan) khusus batu bara yang berdiri di sepanjang alur Sungai Musi. Belakangan, pelabuhan ini ikut menyumbang pencemaran yang merugikan masyarakat. 

"WALHI juga mendorong pemerintah untuk menertibkan dermaga khusus ini. Sebab sudah terlampau banyak. Keberadaan mereka juga berpotensi merusak lingkungan. Seperti yang baru-baru ini dialami warga Selat Punai dalam kasus RMK Energy (RMKE)," terangnya.