Kasus perdagangan satwa liar di Indonesia masih marak terjadi. Kota Palembang sendiri menjadi daerah transit dalam perdagangan gelap satwa liar tersebut. Kondisi geografis Palembang yang dilalui sungai memudahkan penyelundup mengangkut hewan tangkapan.
- Teguh Santosa: Uji Coba Rudal Balistik Antarbenua Korut adalah Jaminan Perdamaian
- Intip Sosok Margaretha Tien
- Bus Pembawa Jemaah Umrah Terbalik dan Terbakar, 20 Orang Meninggal
Baca Juga
Wilayah perdagangan meliputi daerah Aceh-Medan dengan tujuan Pulau Jawa seperti DKI Jakarta dan kota lainnya. Begitupun sebaliknya. Satwa yang dijual beragam. Mulai dari pelbagai jenis burung, primata hingga hewan buas seperti harimau, beruang dan lainnya. Dari Pulau Sumatera, hewan yang dijual merupakan endemik pulau tersebut. Paling diburu yakni Harimau Sumatera dan Orang Utan Sumatera.
Harga kedua hewan tersebut tergolong mahal. Mulai dari Rp80-150 juta. Bahkan untuk Orang Utan Sumatera harganya bisa dua kali lipat. Sebab, keberadaannya cukup langka. Selain itu, memiliki warna bulu yang lebih cerah dan bagus ketimbang Orang Utan yang berasal dari Pulau Kalimantan.
“Harga di pasar gelap itu tidak ada patokan. Tetapi, yang paling banyak diburu itu Harimau Sumatera dan Orang Utan Sumatera. Harimau Sumatera biasanya dijual dalam bentuk opsetan atau diawetkan. Sementara Orang Utan Sumatera dalam kondisi hidup,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, Ujang Wisnu Barata melalui Polisi Kehutanan, Andre saat dibincangi RMOLSumsel.id, beberapa waktu lalu.
Pemasaran satwa liar ini juga lebih mudah dilakukan. Terlebih di era kemajuan teknologi. Hewan-hewan tersebut banyak dipasarkan melalui media sosial. Namun begitu, penelusuran oleh petugas juga gampang dilakukan. Seperti satu kasus yang diungkap BKSDA Sumsel di 2020 lalu. Petugas mengamankan barang bukti 4 ekor kucing hutan dengan tersangka atas nama Giovani. Satwa tersebut diunggah melalui akun media sosial.
“Kasusnya ada di tahun 2020 an, atas nama Giovani dengan barang bukti 4 ekor kucing hutan. Yang bersangkutan sudah divonis 2,5 tahun tahanan dan denda Rp100 juta,” katanya.
Dia mengatakan, motif penjualan satwa beragam. Namun, mayoritas lantaran motif ekonomi. Sebab, harga satwa liar tergolong mahal. Untuk jenis burung, antara Rp5-7 juta. Harganya makin tinggi seiring kelangkaannya.
Ada juga satwa dilindungi yang dijual murah karena masih banyak terdapat di alam liar. Seperti trenggiling, monyet, landak dan beragam satwa lainnya. Nah, jenis satwa tersebut, biasanya untuk kepentingan konsumsi. Mereka pun banyak diekspor ke luar negeri lantaran berbagai khasiat yang diyakini.
Upaya pencegahan, kata Andre, telah dilakukan jajaran BKSDA Sumsel. Melalui berbagai sosialisasi serta imbauan. Terutama di kalangan masyarakat yang tinggal berbatasan dengan kawasan hutan.
“Masih ada masyarakat yang memiliki dan memelihara, masih kita upayakan untuk diserahkan kepada negara. Kita tetap melakukan pengawasan rutin, tetap kita lakukan upaya preventif dan pidana upaya terakhir. Berdasarkan pidana di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, sanksinya hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta,” tuturnya.
Penyelamatan satwa liar dari perdagangan gelap tidak hanya dilakukan BKSDA. Sejumlah organisasi perlindungan satwa juga ikut melakukan pencegahan. Seperti yang dilakukan Center for Orangutan Protection (COP) Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, COP telah menangani setidaknya 42 kasus perdagangan satwa dilindungi dengan jumlah 36 tersangka.
Pengungkapan kasus dilakukan bekerja sama dengan petugas dari BKSDA, Gakkum KLHK dan kepolisian setempat. Mereka memberikan laporan hasil investigasi atau temuannya di lapangan dengan petugas.
Dari kasus tersebut, satwa yang diselamatkan dengan kondisi hidup sebanyak 57 satwa primate. Rinciannya, 11 ekor Orang Utan, 27 ekor Lutung Jawa, satu ekor Monyet, satu ekor Owa-owa, 15 ekor Kukang dan dua ekor Siamang.
Ada juga 36 mamalia darat, seperti Beruang Madu, Binturong, Kucing Hutan. Lalu sebanyak 84 ekor burung dilindungi seperti Kakatua, Nuri Bayan, Rangkong, Elang dan juga Merak. Terakhir ada 10 Satwa lainya seperti Buaya, Jelarang, Musang Pandan, Landak.
Member Tim Guardian COP, Meylanda Purnamasari mengatakan, perdagangan satwa liar tidak hanya dilakukan dalam kondisi hidup. Sejumlah kasus yang ditemui, bagian tubuh satwa juga banyak yang dijual. Seperti Harimau Sumatera dan Kijang ada yang hanya dijual bagian kulitnya.
Menurutnya, daerah di Kawasan Pulau Sumatera menjadi salah satu sumber perburuan satwa dilindungi di Indonesia. Sebab, beberapa merupakan endemik atau khas yang hanya bisa didapatkan di pulau tersebut.
Kasus perdagangan gelap satwa liar setiap tahunnya masih terus terjadi. Organisasinya pun terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar kejahatan terhadap satwa bisa terus ditekan.
“Karena masih banyak masyarakat khususnya di Sumatera, yang masih belum mengetahui satwa dilindungi,” tandasnya.
- Bukit Asam Selamatkan Puluhan Jenis Anggrek Langka Melalui Program Rescue and Release
- Seekor Harimau Sumatera Muncul di Kawasan Mata Ie Aceh Besar
- Membaca Pertanda Harimau dan Mitigasi Konflik Satwa Liar dari Panton Luas