- Kolaborasi Mastercard dan Indosat Ooredoo Hutchison, Kembangkan Potensi Teknologi dalam Mobilitas Perkotaan
- Akomodasi Perkembangan Kebutuhan Listrik, PLN Dukung Kebijakan Pemerintah Lebarkan Golongan Tarif
- PLN Palembang Siagakan 372 Personel untuk Pastikan Kelancaran Pilkada 2024
Baca Juga
Masuknya nama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam bursa calon Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara ditolak keras oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212. Penolakan tersebut direspons politisi PDI Perjuangan Kapitra Ampera.
Kapitra melihat sosok Ahok yang kini menjadi Komisaris Utara PT Pertamina (Persero), tidak pas lagi terus-terusan dipersoalkan.
Sebab, dia telah menebus kesalahannya dalam perkara menista agama dengan menjalani hukuman penjara. Sehingga, persoalan dengan mantan gubernur DKI Jakarta itu seharusnya telah selesai.
"Untuk itu saya bilang, Ahok tidak kehilangan hak untuk dicalonkan, kecuali pengadilan mencabut haknya. Negara kan tidak punya kewenangan. Itu yang harus kita luruskan," kata Kapitra saat berbincang dengan jpnn.com, Sabtu (7/3).
Mantan pengacara Habib Rizieq Shihab ini juga menilai bahwa narasi yang dibangun PA 212 minim gagasan dan tidak punya konsep yang jelas.
Dia justru khawatir gerakan menolak Ahok tak diminati masyarakat.
"Nanti inflasi ini gerakan, tidak diminati orang. Sebaiknya cermati perkembangan bangsa ini, apa yang aktual dari problem bangsa yang tidak bisa diatasi pemerintah. Kritisi itu. Itu yang seharusnya dilakukan. Apalagi PA 212 gerakan untuk membela agama. Saya pikir ini (menolak Ahok) hal yang sangat keliru," tutur pengacara kelahiran Padang, Sumatera Barat ini.
Kondisinya menurut Kapitra berbeda dengan gerakan menyuarakan pembelaan terhadap saudara-saudara muslim di India. Hal itu menurutnya sebuah kewajiban. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun harus diprotes kenapa tidak bereaksi melihat penindasan tersebut.
"Itu wajib hukumnya, orang muslimin itu bersaudara. Ya koreksi Presiden, lu kenapa diam saja? Sementara amanat konstitusi kita mengharuskan ikut menjaga perdamaian dunia ini. Ini harus dikoreksi Presiden," tegas Kapitra.
Presiden Jokowi menurutnya pantas dikritik. Sebab, ketika Tiongkok terkena wabah virus Corona, dia menawarkan bantuan.
Namun ketika muslim di India dibantai, presiden yang dipilih oleh mayoritas muslim itu justru tidak menyalurkan aspirasi rakyatnya yang mayoritas muslim sebagai satu bentuk politik bebas dan aktif dalam menjaga perdamaian dunia.
"Jadi jangan kehilangan gagasan. Jangan pukul Ahok, Ahok, Ahok terus. Inflasi ini. Harusnya (soroti) hal-hal aktual yang terlupakan. Ahok itu bukan orang yang dipilih masyarakat, dia dicalonkan oleh otoritas kekuasaan (presiden) yang dipilih masyarakat melalui Pilpres. Jadi, saya pikir, jalannya pemerintah ini, perlindungan terhadap kemanusiaan, kesejahteraan, itu yang harus dikawal," tuturnya.
Kapitra juga meyakini kalaupun nantinya Presiden Jokowi memilih nama Ahok untuk memimpin Badan Otorita Ibu Kota Baru, keputusan itu tidak akan menimbulkan kegaduhan politik baru di tengah masyarakat.
"Saya pikir tidak. Enggak akan menimbulkan kegaduhan, karena itu daerah kosong kok. Yang harus diawasi ada enggak penyimpangan anggaran segala macam, itu awasi. Bukan ketika orang dipilih itu dilarang, awasi. Ini belum apa-apa sudah ramai," tandasnya.
- Apple Akuisisi Startup AI Kanada
- Triliunan Dana Perlindungan Sosial Belum Mampu Turunkan Kemiskinan Ekstrem di Sumsel
- Lakukan Kecurangan, Pertamina Skorsing Dua Agen LPG di Lahat