MN KAHMI Tegaskan Bahwa Pancasila Sudah Final

Majelis Nasional Korps Alumni HMI ( MN KAHMI) menilai pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 adalah final.


Demikian salah satu pernyataan sikap MN KAHMI terhadap RUU HIP yang ditandatangani Koordinator Presidium MN KAHMI Sigit Pamungkas dan Sekjen MN KAHMI Manimbang Kaharyadi.
Seluruh penyelenggara negara dan rakyat Indonesia diminta tetap teguh berpegang pada Pancasila dengan tata urutan dan kalimat sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945 sebagai satu tarikan nafas, yaitu:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
  3. Persatuan Indonesi

mengatakan RUU HIP secara substansi mengandung problematika.

Di dalamnya memuat berbagai penafsiran, asumsi, dan cara memahami Pancasila yang dapat mengoyak sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Demikian salah satu pernyataan sikap MN KAHMI terhadap RUU HIP yang ditandatangani Koordinator Presidium MN KAHMI Sigit Pamungkas dan Sekjen MN KAHMI Manimbang Kaharyadi.

Menurut MN KAHM, terdapat kesalahan fundamental dalam memahami dan menempatkan Pancasila dalam struktur RUU.

Perlu jiwa kenegarawanan menyikapi RUU tersebut. Jika tidak, bangsa dan negara kita dapat mundur ke belakang memulai dari awal kembali.

Pancasila merupakan dasar filsafat negara (philosopische grondslag) dan norma
fundamental negara (staatsfundamentalnorm).

Sebagai filsafat negara, Pancasila menjadi
bintang penuntun pandangan hidup berbangsa dan bernegara (weltanschauung).

Sementara itu, Pancasila sebagai norma fundamental negara, kedudukannya menjadi sumber dari segala sumber hukum negara atas konstitusi (staatsgrundgesetz), undang-
undang (formell gesetz) dan regulasi lainnya.

Perumusan Pancasila dalam norma hukum, seperti yang dilakukan melalui RUU HIP
menurunkan kedudukan Pancasila tersebut.

RUU HIP mendegradasi kedudukan Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan norma fundamental negara.

Pancasila kemudian menjadi bersifat instrumentatif dan objek pengujian yudisial (judicial review) di
Mahkamah Konstitusi.

"Pancasila seharusnya menjadi batu uji, bukan objek yang diuji.
Pancasila seharusnya menjadi batu uji, bukan objek yang diuji," kata MN KAHMI.

Tafsir Pancasila harus mencerminkan keseluruhan sila Pancasila yang lima sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945.

Tafsir Pancasila tidak dapat direduksi sedemikian
rupa dalam sila-sila tersendiri tanpa mengkaitkannya dengan sila yang lain. Pancasila
juga tidak dapat diperas sedemikian rupa dalam sejumlah sila. Hubungan sila dalam Pancasila merupakan “satu tarikan nafas” yang saling terkait. Penafsiran Pancasila ada di
dalam konstitusi.

Dalam RUU HIP, Pancasila diperas sedemikian rupa menjadi Trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan) dan Ekasila (gotong royong).

Perasan sila Pancasila tersebut tidak hanya menyimpang dari maksud Pancasila dalam
Pidato Sukarno pada 1 Juni 1945, lebih jauh lagi mengubah secara fundamental
konsensus nasional Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.

Elaborasi penafsiran
Pancasila yang memperkenalkan sendi pokok keadilan sosial dan ciri pokok trisila dan ekasila dalam RUU HIP juga mengubah Pancasila dari dasar filsafat negara dan norma fundamental negara menjadi kaidah politik.

Berdasarkan pengalaman perjalanan kenegaraan kita, Pancasila kemudian menjadi alat kekuasaan yang digunakan secara
semena-mena.

Pancasila menjadi ideologi tertutup dan ditafsir secara monopolistik.

Konsensus Nasional

Pancasila yang mengikat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan
Pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945. Mengubah Pancasila
sebagaimana disebut dalam Pembukaan UUD 1945 sama dengan membubarkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan titik temu kebangsaan (kalimatun
sawa) dan kesepakatan luhur para pendiri bangsa. Sejak pertama kali dirumuskan, ide
tentang Pancasila terus mengalami penyempurnaan dan penguatan. Adapun fase - fase penting rumusan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
fase Kelahiran (1 Juli 1945), Perumusan (22 Juli 1945), Pengesahan (18 Agustus 1945), dan Penegasan (Pembukaan UUD RIS, Pembukaan UUDS, Dekrit Presiden 5 Juli 1959).

Keseluruhan proses itu meneguhkan aspek penting dari Pancasila, yaitu merupakan karya
kolektif bangsa dan konsensus nasional.

RUU HIP terlihat melahirkan Pancasila bentuk baru, padanan lain, menambah-nambah atau mengurangi Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mengenal keadilan sosial sebagai semata-mata sendi pokok Pancasila, tidak mengenal trisila atau ekasila

Kohesivitas Sosial
RUU HIP menghidupkan diskursus publik yang relatif baik. Publik setidaknya berdebat tentang ide bernegara yang dianut Indonesia, menggeser isu ruang publik yang selama ini
penuh dengan narasi material, kebencian atas posisi politik atau pembagian kekuasaan,
dan sebagainya.

RUU HIP juga meningkatkan kepedulian dan tingginya komitmen
berbagai elemen bangsa kepada Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Nalar publik menjadi sehat dan hidup.

Aspek ini perlu dijaga dalam hal nilai intelektualitasnya.

Di sisi lain, RUU HIP menghidupkan kembali trauma masa lalu dan mengandaikan bahwa seolah-olah Negara Nasional Republik Indonesia belum selesai.

Sejumlah elemen
masyarakat kemudian melakukan penolakan dan aksi massa dengan menarik jarum jam sejarah pengalaman masa lalu untuk disiapkan menghadapi sesuatunya dengan sesama
anak bangsa.

Tidak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme, dalam pertimbangan RUU HIP telah mengeskalasi kemarahan yang seolah-olah ajaran/ideologi tersebut diizinkan hidup di bumi Pancasila.

Dalam situasi tersebut, energi bangsa dipastikan terkuras dan proses kehidupan
berbangsa akan menjadi tidak produktif.

Kohesivitas sosial berpotensi menjadi retak yang
jika tidak dikelola dengan baik dapat membahayakan negara.

Majelis Nasional KAHMI berpandangan, demi menjaga keutuhan NKRI dan soliditas sosial serta menciptakan stabilitas negara yang sedang mengalami bencana pandemi Covid-19,
Pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 adalah final.[ida]