Merasa Tidak Nyaman, Sekdin Pendidikan OKI Siap Laporkan Oknum Wartawan ke Dewan Pers

Sekdin Pendidikan, Abdullah Rifai (kiri) didampingi  Ketua K3S Ibrahim Lakoni (Kanan). (Hari Wijaya/rmolsumsel.id)
Sekdin Pendidikan, Abdullah Rifai (kiri) didampingi Ketua K3S Ibrahim Lakoni (Kanan). (Hari Wijaya/rmolsumsel.id)

Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Abdullah Rifai dengan keras membantah pemberitaan yang menuding adanya keterlibatan dalam pengaturan penggandaan lembar ujian tingkat Sekolah Dasar (SD).


Abdullah Rifai mengungkapkan, dirinya merasa kecewa dengan pemberitaan yang menyudutkan dan dianggap tidak berimbang bagi dirinya selaku narasumber. Karena itu, dia siap melaporkan oknum wartawan media tersebut ke Dewan Pers.

Menurutnya, ada beberapa pernyataan yang diungkap dipemberitaan itu, yang sangat cenderung mengarah kepada opini penulis. Ini tentu berdampak kepada institusi tempat dia bekerja hingga di kehidupan sosialnya. “Jika membaca berita kemarin, saya seolah telah menjadi tersangka tanpa dilakukan proses penyidikan terlebih dahulu,” ujarnya Selasa (26/7).

Tak hanya itu, media tersebut juga secara terus menerus melakukan pemberitaan tanpa menyertakan bukti atas perbuatan yang dituduhkan. Hal itu seolah menggiring opini publik bahwa tindakan itu benar-benar dilakukan, padahal dia sudah memberikan penjelasan saat diwawancarai.

“Saat itu saya telah menjelaskan bahwa pihak saya hanya menetapkan jadwal serta melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya ujian itu sendiri,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, ujian tersebut diselenggarakan di sekolah masing-masing. Mulai dari persiapan lokasi, pendataan siswa hingga menetapkan anggaran penyelenggaraan.

“Termasuk juga penggandaan lembar ujian yang dituding kami sebagai operatornya. Semua diserahkan ke sekolah penyelenggara,” bebernya.

Sementar itu, Ketua K3S Ibrahim Lakoni saat diwawancarai menjelaskan, peran masing-masing dalam penyelenggaraan ujian tersebut.

“Kami membantu menyiapkan materi ujian sesuai dengan kurikulum pelajaran siswa hingga menentukan bobot soal ujian. Hal itu dilakukan agar soal ujian memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan berupa master soal, yang kemudian dikirim ke masing-masing sekolah untuk diperbanyak sesuai kebutuhan,” terang dia.

Saat ditanya terkait kasus tersebut, Ibrahim juga membantah sebagaimana pihaknya turut juga dituding berperan sebagai penyalur antara Sekdin dan sekolah. “Tugas kami selesai setelah distribusi master soal, dibagikan di mana selanjutnya sudah menjadi wewenang sekolah,” ujarnya.

Bila ada beberapa sekolah yang kebetulan berada di percetakan yang sama, bukan berarti di bawah koordinasi kami. Termasuk biaya cetak. Selagi biaya tidak lebih dari Rp250 per lembar.

“Penggandaan ujian boleh dimana saja. Dengan syarat memenuhi standar kualitas dan biaya cetak. Demi efisiensi waktu dan transportasi, terkadang beberapa sekolah berangkat sekali jalan. Terutama yang wilayah desanya berdekatan. Sama sekali tidak ada aturan yang dilanggar dalam hal ini,” bebernya.

Dari peristiwa tersebut, ia justru merasa bingung dengan isi pemberitaan yang terus menerus diterbitkan oleh salah satu media online tersebut.

Menanggapi hal ini, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang Prawira Maulana mengatakan, seorang jurnalis tidak diperbolehkan menuangkan pendapatnya atau beropini terkait wacana peliputan. Dia menegaskan, mencampurkan fakta dan opini adalah sikap dari tidak adanya profesionalisme di diri jurnalis itu sendiri.

“Tidak menggabungkan fakta dan tidak beropini merupakan penegasan kedudukan Pers yang tidak memihak atau independensi Pers itu sendiri. Hal itu sangat tidak dibenarkan sebagaimana telah diatur di Kode Etik Jurnalistik,” katanya.

Sebuah produk jurnalis sangat tidak diperbolehkan menggabungkan fakta dan opini. Dua unsur (fakta dan opini) dapat digabungkan ketika hendak membuat tajuk rencana. Bentuknya pun artikel, bukan berita. Selain itu, profesionalisme jurnalis juga terlihat dari teknik wawancara yang dilakukan pada narasumber.

Dalam hal ini, Kode Etik Jurnalistik juga telah menyebutkan bahwa jurnalis harus memiliki etikad dan sikap independensi. “Bahkan jurnalis juga tidak boleh menekan atau mengintervensi narasumber. Dari sikap tersebut artinya jurnalis tersebut beretikad baik,” ungkapnya.

Lanjut Prawira, kenyamanan narasumber pun harus dipenuhi oleh jurnalis ketika hendak melakukan wawancara. Ia dengan tegas melarang sikap agresif yang dilakukan oleh jurnalis yang dapat menimbulkan keresahan narasumber. “Jika ada jurnalis atau wartawan seagresif itu, narasumber harus meminta ruang hak jawabnya. Tentunya Dewan Pers akan melakukan screening ke media tempat jurnalis bekerja terlebih dulu sebelum melakukan tindakan,” jelas Prawira.

Prawira memberikan sudut pandangnya terkait adanya pemblokiran nomor wartawan usai melakukan wawancara. Ia mengatakan tentunya harus diperhatikan alasan pemblokiran itu, jika ketidaknyamanan menjadi alasan dan tidak ada kepentingan terkait validasi data, maka narasumber berhak melaporkan kejadian tersebut ke Dewan Pers.

“Seperti yang tercantum pada Kode Etik Jurnalistik, esensi Etikad itu tentunya tidak hanya berpengaruh pada jurnalis itu sendiri, akan tetapi juga mengacu pada kenyamanan narasumber,” tegasnya.

Ia menambahkan, Dewan Pers tentunya akan mencari tahu terkait ada atau tidaknya unsur pidana. “Jika ada unsur pidana, seperti pengancaman, jelas laporkan ke pihak berwajib,” tambahnya.

Terlebih lagi lanjut Prawira, Dewan Pers akan meninjau ulang apakah media tersebut benar-benar telah memiliki badan hukum. Jika media tersebut memiliki badan hukum, maka Dewan Pers tentu akan memberikan sanksi tegas kepada media tersebut.

Saat disinggung tanggapan terkait fenomena tersebut, Prawira menjelaskan bahwa AJI Palembang juga turut menjaga ekosistem profesionalisme jurnalis dan media di Indonesia, khususnya di Sumsel.

Tidak lupa Prawira bersama AJI mengajak seluruh jurnalis untuk menjaga ekosistem media di Indonesia dengan cara bekerja secara profesional.

Kode Etik Jurnalistik dibuat tidak hanya untuk melindungi jurnalis, tetapi juga melindungi narasumber dari jurnalis yang tidak bisa bekerja profesional.

“Jangankan narasumber, kalau warga tidak nyaman dengan suatu berita yang tayang di media, tentu bisa dilaporkan ke Dewan Pers,” tegasnya.

“Jika ada jurnalis bekerja tidak profesional, laporkan ke Dewan Pers,” pungkasnya.