Sebanyak 12 perusahaan tambang di Sumsel meraih predikat Proper Merah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
- Warga Ancam Aksi di Kejati, Usut Dugaan Kongkalikong Pemprov Sumsel dengan PT GHEMMI-Musi Prima Coal
- Optimalkan Sumber Daya Tambang di Kabupaten Muratara, Ini Upaya Pj Gubernur Sumsel
- Surat Edaran Titik Antar Jemput Tak Digubris, Perusahaan Tambang Kangkangi Bupati Muara Enim
Baca Juga
Ke-12 perusahaan tambang tersebut yakni PT Trimata Benua (Banyuasin), PT Bukit Telunjuk (Lahat), PT Era Energi Mandiri (Lahat), PT Duta bara Utama (Muara Enim), PT RMK Energy (Muara Enim), PT Banyan Koalindo Lestari (Muratara), PT Astaka Dodol (Musi Banyuasin), PT Baramutiara Prima (Musi Banyuasin), PT Buana Bara Ekapratama (Musi Banyuasin), PT Manggala Alam Lestari (Musi Banyuasin), PT Triaryani (Muratara) dan PT Prima Lazuardi Nusantara (OKU).
Predikat Proper Merah menjadi salah satu penilaian buruk terhadap perusahaan lantaran belum menjalankan aspek good governance dalam pengelolaan lingkungan dalam operasionalnya. Alasan lainnya yakni perusahaan masih mendapatkan sanksi administratif dari Dinas Lingkungan Hidup setempat serta belum melakukan penyelesaian rekomendasi.
Banyaknya perusahaan tambang yang mendapat Proper Merah menandakan jika pelaku industri ini belum betul-betul menempatkan kelestarian lingkungan sebagai prioritasnya. Padahal, kegiatan penggalian hasil bumi sejak awal telah memicu hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya erosi tanah, kontaminasi air permukaan serta air tanah, serta pencemaran terhadap tanah serta udara.
"Seharusnya, pemerintah selaku pembina maupun pengawas dapat bertindak dengan menghentikan sementara kegiatan perusahaan yang belum memenuhi aspek kelestarian lingkungan. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi," kata Ketua Koalisi Kawal Lingkungan Hidup Indonesia (KAWALI) Sumsel, Chandra Anugrah saat dibincangi Kantor Berita RMOL Sumsel, Selasa (3/1).
Dia mengatakan, kegiatan pertambangan masih bisa berjalan meskipun perusahaan sudah terbukti melakukan pelanggaran lingkungan. Walaupun dalam sanksi yang diberikan, perusahaan diminta berhenti operasional sementara. "Walaupun sanksi pemberhentian dikeluarkan, tapi tidak ada pengawasan dari aparatur pemerintah. Sanksi itu hanya diatas kertas saja. Realitanya, perusahaan masih bisa terus jalan," ungkapnya.
Dijelaskan Chandra, koordinasi antara dua badan dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup serta Inspektur Tambang Penempatan Sumsel yang punya peran untuk menghentikan kegiatan perusahaan tersebut selama ini tak berjalan dengan baik. Saat sanksi administrasi yang dikeluarkan DLH kepada perusahaan, seharusnya Inspektur Tambang langsung menjalankan perannya menghentikan kegiatan operasional perusahaan tersebut. Sampai sanksi administrasi terpenuhi.
"Sehingga, operasional perusahaan berjalan dengan memenuhi unsur-unsur kelestarian lingkungan tersebut. Tapi hal ini yang tidak dilakukan Inspektur Tambang. Perusahaan itu seolah dilindungi dengan membiarkannya beroperasi," bebernya.
Chandra mendesak pemerintah agar tegas terhadap perusahaan yang mendapat Proper Merah tersebut. Sekaligus mempertanyakan kinerja Inspektur Tambang Dirjen Minerba Kementerian ESDM yang selama ini kerap disorot, kendati kerusakan lingkungan Sumsel terus berlangsung.
"Hentikan operasionalnya sampai mereka memenuhi standar kelestarian lingkungan yang ditetapkan, ganti inspektur tambang" tandasnya.
- Kasus Korupsi Tambang Nikel, Mantan Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin Divonis 3,5 Tahun Penjara
- Pidana Pertambangan Bernilai Triliunan Naik Penyidikan, Kepala Dinas ESDM dan Pejabat Dinas LHP Sumsel Ikut Diperiksa
- Warga Ancam Aksi di Kejati, Usut Dugaan Kongkalikong Pemprov Sumsel dengan PT GHEMMI-Musi Prima Coal