Mempertanyakan Dana Besar Penanganan Karhutla di Sumsel

Gambar udara kondisi kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung di Desa Sepucuk, Kecamatan Kayuagung, Sumsel. (dok. RMOLSumsel.id)
Gambar udara kondisi kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung di Desa Sepucuk, Kecamatan Kayuagung, Sumsel. (dok. RMOLSumsel.id)

Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), menjadi tugas berat pertama Pj Gubernur Agus Fatoni setibanya di Sumsel. 


Membangun sinergi dengan seluruh stakeholder, menjadi bagian lain dari tugas ini, diluar upaya percepatan dengan persiapan dan pengalokasian anggaran secara maksimal. 

Mengulas upaya penanganan Karhutla di Sumsel, tak lepas dari rencana dan strategi preventif yang dilakukan pada kepemimpinan sebelumnya. Agus dinilai hanya sebagai tukang bersih-bersih. 

Hal ini diungkapkan oleh Ketua DPW Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI) Sumsel, Feriyandi.

Selama ini, karhutla disebut-sebut terjadi karena ulah masyarakat yang membuka lahan karena dibakar, serta kondisi cuaca dan kekeringan ekstrim.

Hal ini bahkan diungkap Gubernur Herman Deru dalam Rakor Pengendalian Karhutla Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2023 yang diikuti pula oleh Kasad, Jenderal Dudung Abdurachman, awal September lalu.

Namun menurut Feri- sapaannya, pernyataan Gubernur ini dibantah tegas oleh Kementerian LHK yang langsung menyegel lahan milik belasan korporasi beberapa hari lalu. 

Penyegelan ini membuktikan bahwa sebetulnya penyebab utama karhutla di Sumsel adalah ulah korporasi yang dinilai sejumlah pihak tidak bertanggung jawab, diperparah dengan ketidak tegasan pemerintah.

"Termasuk didalamnya bagaimana upaya preentif dan preventif yang dilakukan oleh Pemprov Sumsel dan lembaga yang terkait sebelum terjadinya Karhutla," ungkap Feri. 

Dijelaskannya, di tahun terakhir kepemimpinan Herman Deru ini, kejadian luar biasa Karhutla meluas dan dirasakan dampaknya secara signifikan oleh masyarakat. 

Namun, dana penanganan yang berasal dari APBN maupun APBD terus mengucur, kepada pihak-pihak terkait yang selama ini bertanggung jawab dalam penanganan ini. 

Misalnya kepada Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), Dinas PSDA, Dinas LHP dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel. 

"Seharusnya disampaikan berapa dana yang diterima dan dikelola untuk apa saja, agar tidak seperti saat ini kita melihat dana besar itu sia-sia," kata Feri. 

Sebab menurutnya ada tanggung jawab monitoring dan evaluasi dalam Permen LHK No.7 tahun 2022 tentang Pelaksanaan Kegiatan Restorasi Gambut yang mengikat setiap Kepala Daerah yang disebutkan dalam belaid tersebut.

Namun, sampai saat ini Pemprov Sumsel belum sekalipun mengungkapkan besaran dan peruntukkan dana yang dikucurkan untuk penanganan Gambut ini. 

"Patut diduga terjadi penyelewengan dana yang seharusnya bisa segera diaudit oleh pihak yang berwenang. Belum lagi dugaan kongkalikong dengan korporasi yang ternyata telah merusak lingkungan di Sumsel," ujarnya.

Berdasarkan catatan, luas wilayah Gambut Sumsel 1,27 juta hektar, tersebar di Ogan Komering Ilir seluas 638.379 hektar, Banyuasin seluas 303.350 hektar, dan Musi Banyuasin seluas 254.050 hektar. 

Kemudian, di Musi Rawas Utara seluas 28.000 hektar, Muara Enim 21.860 hektar, Penukal Abab Lematang Ilir 19.771 hektar, dan Musi Rawas 4.977 hektar.

Oleh sebab itu, pihaknya tidak hanya mendukung upaya yang dilakukan oleh Agus Fatoni saat ini, tetapi juga mendorong dilakukannya audit investigatif dugaan kerugian negara dalam penanganan Karhutla ini.

Banyak Rusak, Sekat Kanal Belum Optimal Cegah Karhutla

Pembangunan sekat kanal sebagai infrastruktur pembasahan gambut masih dilakukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BGRM) dalam beberapa tahun terakhir. Hingga 2022, (BRGM) serta Pemprov Sumsel telah membangun sebanyak 1.080 unit sekat kanal serta 281 unit sumur bor sebagai upaya rewetting atau pembasahan kembali kawasan gambut. 

Hanya saja, infrastruktur tersebut belum optimal untuk mencegah kawasan gambut tidak terbakar kembali. Sebab, beberapa sekat kanal komdisinya ada yang mengalami kerusakan baik karena usianya yang sudah tua maupun ikut terbakar. 

Pantauan tim di lapangan, salah satu sekat kanal yang mengalami kerusakan diantaranya di kawasan Desa Sepucuk, Kabupaten OKI. Sekat kanal di kawasan tersebut sudah dibangun sejak 2018 lalu. Namun sayangnya, sebagian besar lahan di kawasan Desa Sepucuk masih tetap dilalap si jago merah. 

Foto udara salah satu kawasan yang dibangun sekat kanal di Desa Sepucuk, Kabupaten OKI terbakar. (dok/rmolsumsel.id)

Kerusakan sebagian besar sekat kanal juga diamini Kepala Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumsel, Dharna Dahlan. Sejumlah sekat kanal yang sudah dibangun BRGM sudah banyak mengalami kerusakan. Baik karena usianya yang sudah tua maupun akibat dilalap karhutla. 

"Sebagian memang ada yang mengalami kerusakan. Kami sedang mendata mana-mana sekat kanal yang sudah mengalami kerusakan dan beserta tingkat kerusakannya. Tahun depan, fokusnya yakni perbaikan sekat kanal," kata Dharna. 

Dia mengatakan, seluruh sekat kanal dibangun di kawasan gambut non konsesi. Artinya, lahan tersebut sebagian besar ada yang dimiliki masyarakat ataupun masuk dalam kawasan perlindungan. Meski Kabupaten OKI memiliki luasan lahan gambut paling besar, namun lahan tersebut berada di kawasan konsesi perkebunan. Sehingga, sebagian besar sekat kanal yang dibangun BRGM maupun pemprov Sumsel tidak berada di wilayah itu. 

"Sebagian besar itu dibangun di Muba dan Banyuasin. Untuk mengantisipasi karhutla besar 2015 yang lalu. Dan memang terbukti efektif mengingat minimnya jumlah hotspot di kedua kabupaten. Berbeda dengan di OKI yang hotspotnya lebih banyak," bebernya. 

Sementara, kebakaran gambut di Kabupaten OKI kebanyakan berada di lahan konsesi perusahaan. Sehingga bisa disimpulkan, perusahaan belum melengkapi infrastruktur sekat kanal yang bertujuan membasahi lahan gambut minimal setinggi 40 cm. 

"Terbukti dari banyaknya lahan perusahaan yang disegel KLHK," ucapnya. 

Menurut Dharna, selain pembasahan kembali lahan gambut, pemerintah juga melakukan upaya revegetasi atau penanaman kembali lahan gambut yang terbakar. Hingga 2022, sudah sekitar 85 hektar lahan gambut yang direvegetasi

"Jadi ditanam tanaman khas gambut seperti Meranti dan tanaman khas lainnya," ucapnya.

Upaya lainnya yakni revitalisasi. Dimana masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hidrologi gambut diberdayakan untuk menjaga lahat. Mereka akan diberikan usaha seperti pemeliharaan sapi, ikan ataupun usaha lainnya yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya

"Sejauh ini sudah ada 987 paket bantuan ke kelompok masyarakat yang tinggal di dekat areal gambut," terangnya.

Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI), Dedi Permana yang dibincangi Senin mengatakan, penanganan dengan dana miliaran terkesan sia-sia. 

Menurutnya, perlindungan dan pengelolaan gambut di Sumsel telah banyak dilakukan, dan juga banyak pembiayaan yang dikucurkan. Namun, pendekatan yang dilakukan masih sebatas parsial. 

Selain itu, perlindungan dan pengelolaan gambut ini juga belum terintegrasi dalam satu landskap. Melainkan, masing dilakukan terpisah atau sendiri-sendiri.

"Karena itu, gambut itu tetap menjadi sangat rawan terhadap kerusakan dan potensi kebakaran," katanya. 

Seharusnya yang perlu dilakukan pertama-tama yaitu sebuah master plan yang berbasis lanskap, sehingga semua pihak melakukan kegiatan terarah mengikuti masterplan, baik dalam kontek penataan air maupun pemanfaatannya.

"Karena tidak dimulai dengan membangun masterplan. Maka tidak ada patokan dan arahan sehingga infrastruktur gambut tidak berfungsi dengan layak. Sehingga dapat dibilang sia-sia, Kami berharap ini menjadi evaluasi terkait perlindungan dan pengelolaan gambut," terangnya.