Membongkar Penyebab Banjir, Menanti Keseriusan Mengalir 

Banjir di salah satu ruas jalan Kota Palembang. (humaidi kenny/rmolsumsel.id)
Banjir di salah satu ruas jalan Kota Palembang. (humaidi kenny/rmolsumsel.id)

Banjir besar Palembang yang terjadi, Sabtu (25/12) lalu, bukanlah kejadian baru. Bencana hidrologi ini sudah akrab dengan masyarakat Kota Pempek sejak dulu. Hanya saja, kondisinya saat ini kian parah karena munculnya daerah langganan banjir baru.


Data Dinas PUPR Kota Palembang, setidaknya ada sekitar 43 titik rawan banjir. Seperti di Kecamatan Ilir Timur II sebanyak 12 lokasi, Ilir Timur I 6 lokasi. Kecamatan Kalidoni dan Kemuning masing-masing 3 lokasi. Kecamatan Ilir Barat I 4 lokasi dan beberapa daerah lainnya.

Beberapa diantaranya merupakan langganan banjir baru. Seperti di kawasan Perumahan Graha Buana, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarame yang sudah tiga bulan terakhir tergenang banjir. Lalu ada juga kawasan Jalan Dwikora Kecamatan Ilir Timur I dan beberapa kawasan pemukiman lainnya.

Dulunya, bencana banjir di Kota Palembang berpusat di kawasan tertentu saja. Seperti di kawasan Sekip Bendung. Meluasnya lokasi rawan banjir disebabkan pembangunan drainase dan normalisasi anak sungai yang belum efektif. Pembangunan pemukiman maupun infrastruktur di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dan kawasan rawa turut menjadi masalah besar yang memperparah kondisi banjir.

Langganan Banjir Palembang Hanya Sekip Bendung

Mantan Wali Kota Palembang, Eddy Santana Putra (ist/rmolsumsel.id)

Meluasnya kawasan banjir di Kota Palembang diamini oleh mantan Wali Kota Palembang dua periode, Eddy Santana Putra. Dia menceritakan saat dirinya memimpin, kawasan langganan banjir Palembang hanya terjadi di lokasi tertentu.

"Di zaman saya memimpin hanya terjadi di tempat tertentu. Seperti di Sekip Bendung. Waktu itu muka airnya masih sangat rendah, tapi sudah banjir,” kata Eddy saat menjadi narasumber pada Webinar Bincang-bincang Membedah Banjir di Kota Palembang, Kamis (30/12).

Seharusnya, banjir di Kota Palembang sudah dapat ditanggulangi. Karena sudah banyak sarana infrastruktur pengendalian banjir yang telah dibangun. “Sekarang sudah ada pipa pompanisasi Sungai Bendung. Dengan kapasitas sebesar masih terjadi banjir besar, itu tidak masuk akal menurut saya,” kata Anggota Komisi V DPR RI ini.

Upaya normalisasi anak sungai menjadi penting dilakukan. Sebab, menentikan kecepatan aliran air menuju Sungai Musi. "Saat banjir kemarin saya langung meminta teman-teman untuk meninjau langsung daerah pinggiran Sungai Musi. Ternyata di BKB dan sekitaran pasar 16 itu tidak terjadi limpasan. Nah, artinya dari sini bukan drainasenya yang perlu dipertanyakan, tapi normalisasinya," kata Eddy.

Politisi Partai Gerindra tersebut mengungkapkan, Palembang merupakan kota yang secara natural atau alamiah sudah terbentuk drainase alam atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai anak sungai. Sehingga akan sangat memungkinkan apabila banjir yang terjadi beberapa waktu lalu masih bisa untuk ditangani dengan sistem yang sudah ada itu.

Selain itu, antisipasi terhadap sampah saat memasuki musim hujan juga perlu menjadi evaluasi Perlu pengendalian kebiasaan masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan dengan langkah yang tepat.

"Lagi-lagi perlu untuk ditekankan bahwa yang menjadi evaluasi bersama adalah normalisasi pompa dari kolam-kolam retensi yang sudah ada. Sistem pengendalian banjir yang ada sekarang itu kan dimulai dari retensi di Polda, RS Umum, Basuki Rahmat misalnya. Kemudian, itu semua larinya ke sungai bendung lalu berakhir ke Sungai Musi," paparnya.

Salah kelola penataan ruang juga menjadi persoalan. Pembangunan infrastruktur dan juga pemukiman di kawasan DAS memperparah keadaan. Dia mengambul contoh di DAS Sungai Baung.

“Sungai Baung itu kan menarik air dari Dwikora , kantor gubernur dan sebagainya. Nah saat terjadi banjir, masalahnya sederhana yakni karena jembatan di Kapten Rivai dan juga aliran Sungai Baung itu menabrak aliran Sungai Sekanak secara tegak lurus, artinya harus ada sekat disana. Jangan sampai tegak lurus, saya kira itu dapat segera diatasai oleh PUPR kota, minta bantuan dari provinsi atau juga bantuan dari BBWS. Stop kita salahkan intensitas hujan tinggi kalau tata kelolanya saja seperti ini," terangnya.

Pemkot Palembang juga harus lebih banyak menganggarkan dana untuk bersih sungai dan normalisasi. Dia menyebutkan, PUPR Kota Palembang hanya menganggarkan dana untuk bersih-bersih sungai sebesar Rp 3,7 miliar. “Tentu itu belum cukup untuk membersihkan seluruh  316 anak sungai dan sub DAS yang jumlahnya 21 bagian,” bebernya.

Alih Fungsi Kawasan Rawa Hilangkan Resapan Air

Kawasan rawa budidaya yang dilakukan penimbunan untuk pembangunan kantor pemerintahan terpadu. (dok/rmolsumsel.id)

Laju pembangunan infrastruktur dan pemukiman di kawasan rawa turut menjadi penyebab bencana banjir di Palembang. Hal ini membuat minimnya daerah resapan dan embung air.

"Pembangunan permukiman dan perkantoran yang pesat berakibat pada penimbunan rawa-rawa dan kurangnya area resapan. Selain itu hilangnya anak-anak sungai tersier yang tertimbun sampah ataupun berubah fungsi menjadi gedung, ini perlu untuk jadi PR kita bersama," kata Rektor Universitas Sriwijaya, Anis Saggaf.

Menurutnya, Kota Palembang memerlukan action plan dengan melakukan analisis secara komprehensif, seperti memperhatikan kapasitas Q,V Run off real seluruh sungai di Palembang khususnya anak sungai sekunder. 

"Perlu dibuat formulasi kebutuhan kebutuhan saluran aliran air ke sungai pada saat hujan optimum, mendesain jalan keluar air dengan memperhatikan retensi ditempat yang tepat, membangun pompanisasi ke anak sungai sekunder ataupun ke Sungai Musi," bebernya.

Keberadaan Sungai Musi sebagai muara aliran DAS di Kota Palembang juga perlu diperhatikan. Dia menjelaskan, kondisi pendangkalan di Sungai Musi akan berpengaruh terhadap aliran air. "Saat ini Sungai Musi itu sudah wajib di analisis capacity untuk menghitung pendangkalan dan sempadan sungai," bebernya.

Meski tak ada larangan pembangunan kawasan rawa, namun harus ada pengendalian yang jelas seperti yang tertuang dalam Perda Rawa.

Pembangunan di kawasan rawa juga meningkatkan kebutuhan akan kolam retensi. Dari berbagai survei yang dilakukan, khusus di Palembang saja setidaknya butuh 77 kolam retensi. Namun survei pada tahun berikutnya dibutuhkan 103 kolam retensi dan survei lanjutan butuh 130 kolam retensi. Penambahan itu seiring dengan pembangunan gedung dan pemukiman yang ada di Kota Palembang. "Sementara saat ini baru ada 46 kolam retensi," kata Kepala Dinas PUPR Kota Palembang, Akhmad Bastari.

Revisi Perda RTRW Jangan Hilangkan Sanksi Pelanggar

Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Hairul Sobri. (eko prasetyo/rmolsumsel.id)

Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang berencana merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang. Rencana revisi tersebut diharapkan tidak menghilangkan sanksi bagi pelanggar Perda RTRW sebelumnya..

“Kalau mau direvisi iya harus tetap mengacu pada KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), jangan sampai mengikuti agenda-agenda baru yang mana malah memperparah keadaan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Hairul Sobri, Kamis (30/12).

Pria yang akrab disapa Eep ini menuturkan, Perda RTRW Kota Palembang saat ini masih sangat relevan untuk diteruskan. Hanya saja untuk penerapannya di lapangan masih belum sesuai. Seperti yang disebutkan Eep bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas wilayah daerah tersebut. Luas Palembang sendiri sekitar 400,6 kilometer persegi, artinya sekitar 12.000 kilometer persegi harus menjadi RTH. “Kita lihat di lapangan bahwa RTH itu belum terpenuhi,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, pada revisi mendatang Eep berharap agar Pemkot tetap mengupayakan untuk mewujudkan RTH sebesar 30 persen di Kota Pempek ini.

Kemudian terkait dengan banjir, Eep menambahkan bahwa pemerintah harus aktif menganalisa potensi banjir. Misalnya dengan mengakomodir pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan, seperti masifnya pembangunan properti rumah, penimbunan rawa, dan lain-lain.

“Misalnya penimbunan rawa untuk perkantoran tapi dibuatkan kolam retensi, hal seperti itu yang sebenarnya tidak kita inginkan,” terangnya.

 Menurutnya, apabila memang terpaksa mengubah tata ruang, perubahan yang seharusnya terjadi adalah ke arah perwujudan RTH sebesar 30 persen. Pasalnya perubahan tata ruang harus tetap berpegang teguh pada KLHS.

Eep mengatakan pada revisi Perda nanti juga harus memperhatikan sanksi para pelaku pelanggaran lingkungan. “Yang kejadian pelanggaran masa lalu harus ditindak, sehingga hal yang sama tidak akan terulang kembali,” imbuhnya.

“Jangan sampai revisi nanti malah melegalkan kesalahan yang sudah dilakukan, bahkan kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Dinas PUPR Kota Palembang, Akhmad Bastari menerangkan, revisi Perda Rencana Tata Rencana Wilayah (RTRW) Nomor 15 Tahun 2012-2032 tersebut tidak akan memutihkan pelanggaran yang ada di dalam RTRW sebelumnya.

“Kalau sudah hijau RTH (Ruang Terbuka Hijau) rawa yang ada di Perda sebelumya, maka tidak akan ada pemutihan disana. Tapi kami juga tidak membuat daerah RTH baru yang langsung di plot di peta pola ruang,” terangnya.

Lalu, bagaimana Pemkot akan menambah RTH baru? Bastari menyebut, ada beberapa aturan yang nantinya mewajibkan pengembang untuk menyisakan lokasinya agar dibuat RTH di sempadan jalan dan juga pembangunan besar taman-taman Rencana Wilayah (RW).

“Secara otomatis, jumlah RTH akan bertambah,” bebernya.

Kebiasaan Masyarakat Buang Sampah di Sungai Belum Berubah

Pompanisasi Sungai Bendung sebagai salah satu infrastruktur penanganan banjir Kota Palembang. (hummaidy kenny/rmolsumsel.id)

Kondisi infrastruktur pengendalian banjir tak diiringi dengan perubahan perilaku masyarakat yang tinggal di aliran sungai Sampah rumah tangga tetap saja menumpuk di sepanjang aliran sungai. Perilaku tersebut sudah terjadi sekian lama dan tetap menjadi persoalan utama saat ini.

Mantan Wali Kota Palembang dua periode, Eddy Santana Putra mengatakan, saat dirinya memimpin, banjir besar pernah melanda kawasan Sekip Bendung. Begitu ditelusuri, banyak sampah rumah tangga yang menumpuk hingga menyebabkan penyumbatan aliran air.

Sampah yang ditemukan tidak hanya berukuran kecil. Ranjang bekas, kasur hingga kursi kayu dibuang dengan sengaja ke sungai. “Sehingga saat melihat itu kami langsung membentuk tim siaga 24 jam untuk mengontrol kawasan sungai saat musim hujan,” kenang Eddy.

Senada juga diungkapkan Kepala Dinas PUPR Kota Palembang, Akhmad Bastari. Dia mengatakan, pihaknya masih banyak menemukan tumpukan sampah yang diangkut dari aliran sungai saat personilnya terjun ke lapangan. Termasuk kasur yang dibuang sembarangan di aliran sungai.

"Pada banjir 1 September lalu, kami juga menemukan pembungkus kabel dari pelat baja warna hitam di Jl Kapt A Rivai seberat 3 ton dan ini disengaja, tidak mungkin kabel bekas masuk gorong-gorong dan ini dilakukan oknum. Jadi, penegasan imbauan agar membuang sampah tidak hanya pada masyarakat saja, tapi juga pada para pengusaha," ujarnya.

Upaya sosialisasi terhadap masyarakat sebenarnya telah dilakukan. Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) Wilayah VIII Palembang menggandeng puluhan komunitas peduli sungai untuk memulai kampanye bersih sungai dan saluran air di beberapa titik Kota Palembang. “Kami setiap Sabtu dan Minggu bersama komunitas membersihkan sungai serta saluran air yang penuh sampah dan kotoran,” kata Kepala BBWSS VIII Palembang, Maryadi.

Nantinya, kegiatan ini juga akan bekerja sama dengan beberapa instansi terkait. Seperti dinas kebersihan, dinas pekerjaan umum dan beberapa unsur lainnya yang berkaitan dengan banjir.

“Sebab, percuma saja dibersihkan kalau sampahnya tidak diangkut. Kalau bekerja sama dengan instansi kan nanti bisa disediakan armada pengangkut sampahnya,” ucapnya.

Akademisi Unsri Sarankan Lima Poin

Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya (Unsri), Maulid Iqbal mencatat, ada lima poin penting yang perlu dilakukan pemerintah Kota Palembang dalam penanganan banjir.

Pertama yakni, penanganannya harus dilakukan secara holistik, terintegrasi, dan berkelanjutan dengan melibatkan semua stakeholder baik pemerintah pusat, Pemkot, Pemprov, Pemkab yang berbatasan dengan kota Palembang.

Kalangan pengusaha baik pengembang perumahan maupun jenis usaha lainnya juga harus diberikan sosialisasi. dalam upaya menanggulangi banjir.

"Selanjutnya perlu ada evaluasi terhadap masterplan tata ruang dan masterplan sistem drainase kota Palembang untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk dan pembangunan serta adanya perubahan cuaca ekstrim dimasa yang akan datang." ungkapnya.

Kemudian perlu adanya Perda untuk mengatur penimbunan pada rawa dengan menggunakan material pasir urug yang diambil dari pengerukan sungai. Langkah itu, kata Maulid akan memberikan dua keuntungan yakni adanya normalisasi sungai atau pengurangan sedimentasi serta lokasi yang ditimbun masih dapat menyerap air.

"Daerah milik jalan di dalam kota harus dikembalikan fungsinya sebagai jalur hijau sebagai tempat resapan air dan sumber oksigen kota," tambahnya.

Terakhir dia mengatakan setiap pembangunan perumahan harus mempunyai rencana sistem drainase mandiri untuk menyelesaikan semua air limpasan yang timbul di lokasi perumahan tanpa membebani sistem drainase kota.