Lima Terdakwa Korupsi Akuisisi Anak Perusahaan PTBA Didakwa Rugikan Negara Rp162 Miliar, Kuasa Hukum Sebut Dakwaan JPU Tidak Cermat

Suasana sidang perdana kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Satria Bahana Sarana (SBS) oleh PT Bukit Asam (PT BA) melalui anak perusahaan PT Bukit Multi Investama (BMI) di Pengadilan Tipikor Palembang Kelas IA Khusus.  (ist/rmolsumsel.id)
Suasana sidang perdana kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Satria Bahana Sarana (SBS) oleh PT Bukit Asam (PT BA) melalui anak perusahaan PT Bukit Multi Investama (BMI) di Pengadilan Tipikor Palembang Kelas IA Khusus.  (ist/rmolsumsel.id)

Pengadilan Tipikor Palembang Kelas IA Khusus, Jumat (17/11), menggelar sidang perdana kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Satria Bahana Sarana (SBS) oleh PT Bukit Asam (PT BA) melalui anak perusahaan PT Bukit Multi Investama (BMI). 


Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU Kejari Muara Enim menghadirkan 5 terdakwa. Kelima terdakwa yakni Mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Bukit Asam (PTBA) Tbk, Anung Dri Prasetya selaku Ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA. Kemudian, Saiful Islam dan Tjahyono Imawan selaku pemilik PT SBS sebelum diakuisisi oleh PT BA.

Lalu, tersangka Milawarma selaku Direktur Utama PT Bukit Asam periode 2011 – 2016 dan Nurtima Tobing selaku analis bisnis madya PT Bukit Asam periode 2012 – 2016.

Di hadapan 5 Majelis hakim yang diketuai Hakim Pitriadi SH MH, tim JPU menilai para terdakwa telah melakukan tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan PTBA sebesar Rp162 miliar lebih akibat akuisisi PT SBS melalui PT BMI.

Selain itu, JPU menilai terdakwa M selaku Dirut melalui terdakwa ADP tidak membuat studi kelayakan untuk menentukan pengembangan bisnis pengembangan bisnis batubara.

"Dalam rencana kerja perusahaan tahun 2014, terdakwa M tidak mencantumkan secara spesifik adanya rencana akuisisi PT SBS melalui PT BMI, sehingga menyalahi peraturan," ujarnya. 

Sementara itu, Penasihat Hukum Keempat Terdakwa, yakni ADP, SI, M dan NT, dari Kantor Hukum Soesilo Aribowo, SH & Rekan, Gunadi Wibakso, S.H., C.N. didampingi Nila Pradjna Paramita, S.H, usai sidang mengatakan jika pihaknya telah mendengarkan  Dakwaan JPU Kejari Muara Enim, dan semua yang didakwakan oleh JPU tidaklah benar.

"Kami akan ajukan eksepsi keempat klien kami pada persidangan selanjutnya, karena kami menilai dakwaan JPU kabur, tidak jelas dan tidak cermat," katanya.

Tadi, lanjutnya, dalam dakwaan disebutkan juga jika kliennya tidak melakukan kajian sebelum proses akuisisi. "Padahal itu sudah dilakukan, dikaji secara internal maupun eksternal," katanya.

Ia menjelaskan, upaya akuisisi PT SBS oleh PTBA melalui PT BMI telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internal perusahaan.

"Jadi tidak ada pelanggaran hukum atau niat jahat yang dilakukan oleh jajaran Direksi maupun tim akuisisi jasa pertambangan, dalam proses akuisisi," katanya.

Kemudian, keputusan untuk melakukan akuisisi terhadap PT SBS sebagai perusahaan kontraktor pertambangan adalah pilihan yang tepat, karena biaya produksi terbesar yang dikeluarkan oleh PTBA adalah biaya transportasi dan biaya jasa kontraktor pertambangan.

Lanjut Gunadi, dengan adanya akuisisi tersebut, diharapkan PTBA mampu menekan ketergantungan terhadap perusahaan jasa kontraktor pertambangan lain, sehingga bisa melakukan penghematan biaya operasional yang cukup signifikan.

"Itu merupakan keputusan bisnis untuk melakukan penghematan biaya produksi, dan murni merupakan keputusan bisnis yang dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rules (BJR)," katanya.

Justru dengan adanya akuisisi itu, maka PTBA mendapatkan keuntungan dalam hal menghemat biaya jasa kontraktor. "Jadi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp162 Miliar seperti dalam dakwaan JPU itu dimana?," ujarnya

Kemudian, dia juga mengkritisi perhitungan nilai kerugian negara yang dilakukan jaksa. Menurutnya, perhitungan tersebut harus melalui BPK, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh penyidik.

Sebab, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 (SEMA 4/2016) yang berbunyi : “instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti BPKP/Inspektorat/ Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak berwenang menyatakan atau mendeclare adanya kerugian keuangan negara.