Di tengah peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, masih banyak pihak menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
- Demi Berobat Anak Istri, Pria di Palembang Nekat Jual Truk Tempatnya Bekerja
- Pakai Motor, Kakorlantas Menyusur Rute Delegasi GPDRR 2022 dan G20 di Bali
- Anak Bungsu Akidi Tio juga Dilaporkan Kasus Penipuan Proyek Istana Presiden
Baca Juga
Sehubungan itu, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menyuarakan pentingnya RUU PKSsegera disahkan. Tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2011-2019 seharusnya menjadi alasan kuat bagi DPR segera mengesahkan RUU PKS.
"Data yang ada di Komnas Perempuan pada 2011 sampai 2019 itu tercatat ada 46. 698 kasus kekerasan seksual, yang terjadi di ranah personal maupun ruang publik terhadap perempuan," ujar Maria dalam webinar bertajuk Pro-Kontra RUU PKS: Mau Dibawa Ke Mana? di Jakarta, Kamis malam (23/72020).
Maria menjelaskan, dari angka itu, sebanyak 23.021 kasus di antaranya terjadi di ranah publik. Bentuk antara lain perkosaan sebanyak 9.039 kasus, pelecehan seksual (2,861 kasus), hingga kejahatan melalui internet (91 kasus).
Namun, Maria menyebut angka itu bukan gambaran keseluruhan. Dia meyakini jumlah sesungguhnya bisa lebih dari itu.
"Ini hanya yang terlapor saja. Jadi ada semacam fenomena gunung es, jumlahnya bisa lebih besar yang tidak terlapor," tukas Maria. Komnas Perempuan sudah mendorong RUU PKS segera dibahas dan disahkan menjadi UU sejak tahun 2012.
Rancangan wet tersebut diyakini akan meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual.
"Setiap tahun kekerasan terhadap perempuan ini konsisten mengalami peningkatan. Ini menunjukkan tidak adanya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan. Kami menganggap ini telah terjadi pembiaran," tegas Maria.
Diberitakan JPNN.com, Jumat (24/7/2020), Maria menilai aturan perundang-undangan yang ada belum memberikan perlindungan yang cukup bagi perempuan dari kekerasan seksual. Bahkan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur ketentuan soal bentuk-bentuk kekerasan seksual yang semakin berkembang dan beragam.
"KUHP tidak memberikan kepastian hukum yang menyeluruh buat korban," tandas Maria.
Sebelumnya RUU PKS telah menjadi polemik di masyarakat. Pihak yang pro mendoronb RUU hasil inisiatif DPR itu segera disahkan. Adapun pihak yang menolak menganggap isi RUU itu mendukung perzinaan, perilaku LGBT dan aborsi. Kini, RUU itu justru dicoret dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.[ida]
- Komplotan Pembobol Mesin ATM Lintas Provinsi Ditangkap Polisi, Ini Peran Setiap Pelaku Saat Beraksi
- Soal Maraknya Sumur Minyak di Muba, Ini Intruksi Kapolda Sumsel
- Terbukti Gunakan Narkoba, Personel Polri Bakal Ditindak Tegas