Koalisi Sumatera Menolak Punah Desak Penghentian PLTU Batu Bara di Tengah Krisis Iklim

Koalisi Sumatera Menolak Punah saat menggelar aksi di Bundaran Air Mancur Palembang. (ist/rmolsumsel.id)
Koalisi Sumatera Menolak Punah saat menggelar aksi di Bundaran Air Mancur Palembang. (ist/rmolsumsel.id)

Seruan ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap krisis iklim yang semakin nyata dan mendesak, serta dampak serius PLTU terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.

Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi menegaskan bahwa dominasi energi kotor di Pulau Sumatera, khususnya PLTU batu bara, menjadi ancaman nyata bagi kelestarian lingkungan, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan generasi masa depan. 

Berdasarkan hasil pemantauan terhadap sembilan PLTU batu bara di Sumatera selama dua tahun terakhir, ditemukan 47 pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup. Dari jumlah tersebut, 12 kasus telah dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup, namun belum berdampak signifikan terhadap percepatan penghentian PLTU.

“Sumatera berdiri di persimpangan sejarah: bertransisi menuju energi bersih, atau perlahan punah di bawah bayang-bayang ketamakan,” ujar Ali Akbar, Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) yang juga Ketua Kanopi Hijau Indonesia.

Koalisi mengecam keras arah kebijakan pemerintahan Prabowo yang dinilai semakin beringas dalam mendukung proyek energi fosil seperti hilirisasi batu bara, gasifikasi, dan proyek Danantara. Kebijakan ini dianggap kontra produktif dengan agenda transisi energi bersih dan adil yang seharusnya dijalankan pemerintah.

Wilton Amos Panggabean dari LBH Pekanbaru menyoroti penderitaan masyarakat di sekitar PLTU Tenayan Raya, Riau, yang tidak lagi bisa mengakses air Sungai Siak. Sementara Hardi Yuda dari Lembaga Tiga Beradik Jambi mengungkapkan ancaman terhadap situs cagar budaya nasional di Muaro Jambi akibat aktivitas tambang dan stockpile batu bara.

Sumiati Surbakti dari Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara menyatakan bahwa negara kecanduan batu bara, tanpa mempertimbangkan penderitaan rakyat. “Wajar jika ada yang mengatakan kita belum merdeka, cuma ganti tangan saja,” ujarnya.

Diki Rafiqi, Direktur LBH Padang, menyebut negara telah gagal memenuhi hak dasar warganya di sekitar PLTU Ombilin dan Teluk Sirih yang terus hidup dalam ancaman kesehatan. Sahwan dari Yayasan Anak Padi Lahat juga menyampaikan bahwa aktivitas PLTU dan tambang telah merusak ekosistem dan merugikan petani di sekitar PLTU Keban Agung.

Koalisi juga menyoroti tingginya angka pencemaran dan dampak kesehatan masyarakat akibat polusi udara dari PLTU, khususnya di Desa Sukaraja, Lampung, yang warganya banyak menderita ISPA dan penyakit kulit akibat debu batu bara.

Boni dari Perkumpulan Sumsel Bersih menyebut bahwa pemerintah Sumsel seharusnya berani mengevaluasi pembangunan PLTU baru karena provinsi tersebut telah melebihi target bauran energi nasional. Dengan kapasitas EBT yang telah mencapai 24,14 persen atau 989,12 MW, seharusnya langkah pengurangan PLTU bisa segera dilakukan.

Arlan dari Koalisi Aksi Penyelamat Lingkungan (KAPL) menekankan pentingnya menyelamatkan Sungai Musi dari pencemaran stockpile batubara dan mendesak Gubernur Sumsel Herman Deru untuk memimpin inisiatif pemensiunan PLTU batubara di Sumatera.

Koalisi “Sumatera Menolak Punah” juga mendesak Presiden Prabowo untuk segera melakukan pemulihan lingkungan dan korban terdampak industri batubara, serta mengambil langkah nyata dalam transisi energi yang bersih dan adil.