Kenali Nyamuk Aedes Albopictus yang Juga Jadi Penyebab Demam Berdarah

Aedes Aegypti (kiri) dan Aedes Albopictus (kanan). (net/rmolsumsel)
Aedes Aegypti (kiri) dan Aedes Albopictus (kanan). (net/rmolsumsel)

Secara umum, masyarakat mengetahui jika penyakit Deman Berdarah Dengue atau biasa disebut dengan DBD disebabkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, namun ternyata ada jenis nyamuk lain yang juga kerap menjadi sebab penyakit menular ini yakni nyamuk Aedes Albopictus. 


Kasi P2PM Dinkes Sumsel, Muyono mengatakan nyamuk Aedes Aegypti lebih suka di dalam ruangan dan suka berkembang biak ditempat-tempat yang memiliki tampungan air buatan, seperti vas bunga, bak mandi, ember, dan lainnya.

Sementara nyamuk Aedes Albopictus yang biasa disebut ‘nyamuk kebon’. Hidupnya didominasi di luar ruangan ini biasa berkembang biak di penampungan air alami seperti lubang pohon, potongan bambu, ataupun tampungan air alami lainnya.

Kedua nyamuk ini memiliki corak yang sama yaitu warna hitam dengan belang putih diseluruh tubuh, terdapat perbedaan yang bisa terlihat pada bagian kepala dan kakinya. 

Aedes Aegypti memiliki dua garis lengkung dan dua garis lurus putih pada, berbeda dengan Aedes Albopictus yang hanya memiliki satu garis lengkung dan satu garis putih. Sedang pada bagian kaki, Aedes Albopictus memiliki ukuran yang lebih panjang.

"Oleh sebab itu, perlu diterapkan 3 M yakni menguras tempat penampungan air, menutup rapat dan mendaur ulang barang yang berpotensi jadi tempat berkembangbiak nyamuk ini, didalam dan diluar ruangan,"katanya. 

Pola penularan dari kedua nyamuk ini sendiri masih terbilang sama, yakni virus yang dibawa oleh nyamuk akan ditularkan melalui gigitan kepada manusia. Kedua nyamuk ini kerap ditemui pada subuh dan petang hari. 

Sehingga perlu juga diterapkan langkah tambahan untuk pencegahan demam berdarah di lingkungan, seperti memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, gotong royong di sekitar lingkungan, dan menanam tanaman pengusir nyamuk seperti lavender dan serai.

"Disarankan pula untuk menggunakan pakaian berlengan panjang, atau penangkal nyamuk seperti lotion dan sebagainya,"jelas Muyono. 

Perbedaan Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. (net/rmolsumsel.id)

Melansir Halodoc, Virus dengue sendiri terdiri dari empat tipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Virus ini akan menyerang sistem kekebalan tubuh, yang mana menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah kapiler. 

Pembuluh darah pun akan menjadi rapuh bahkan bocor sehingga isinya akan masuk ke jaringan sekitar. Infeksi dari virus Dengue memiliki gejalanya, yakni demam tinggi secara tiba-tiba yang berlangsung 2 hingga 7 hari secara terus-menerus. 

Demam dengan pola bifasik ini akan memasuki fase kritis di hari ketiga sampai kelima, dimana pada fase ini puncak terjadinya kebocoran plasma yang berakibat reaksi antigen-antibodi.  

Penurunan Semu Kasus DBD di Palembang

Di tempat terpisah, Kabid PP2M Dinkes Palembang Yudhi Setiawan yang dibincangi mengatakan jika di kota Palembang terjadi penurunan kasus DBD yang cukup signifikan sejak Januari-Agustus 2021 ini.

Jika pada tahun sebelumnya mencapai rata-rata 70 kasus perbulan, maka di tahun ini terjadi hanya sebanyak 15 kasus setiap bulannya. Yudhi mengatakan penurunan kasus ini merupakan penurunan semu. 

"Bila dianalisis penurunan ini patut dijadikan sebagai tanda tanya besar. Di musim hujan harusnya kasus DBD meningkat, tapi yang kita temukan malah sedikit. Kami lihat datanya datar-datar saja, malah cenderung menurun. Bisa jadi DBDnya ada, tetapi masyarakat lebih cenderung menahan diri di rumah. Mereka takut dibilang covid,"ungkap Yudhi. 

Padahal, gejala DBD tetap bisa dideteksi meskipun kondisinya juga terpapar Covid. Karena pemerikasaan kedua virus ini tentunya akan berbeda, untuk menegakan diagnosa DBD akan dilakukan pemeriksaan NS1, sedangkan covid melalui antigen atau PCR. 

"Kalau untuk DBD umumnya menggunakan sampel darah untuk pemeriksaan, sedangkan Covid kebanyakan menggunakan hembusan napas atau lendir hidung. Jadi kalaupun ada orang yang demam, bisa jadi dia mengalami keduanya secara bersamaan. Simpelnya DBD tidak menyerang parnapasan atau paru-paru seperti Covid, hanya mempengaruhi peredaran darah dalam tubuh," ujarnya.

Sampai sejauh ini memang belum ditemukan kasus Covid dan DBD yang terjadi bersamaan. Selain itu, menurutnya gejala DBD lebih rigan dibanding Covid selama bisa memastikan cairan dalam tubuhnya terpenuhi. 

Di sisi lain, dia menambahkan bahwa rentang usia yang paling banyak terjangkit DBD mulai dari 4 sampai 14 tahun atau di usia sekolah. Apabila hal ini terjadi, masyarakat bisa mengupayakan agar orang yang terjangkit tidak kekurangan cairan sehingga terjadi dehidrasi.

Ilustrasi fogging nyamuk.(rmol.id)

"Sedangkan upaya lain dari rumah sakit, biasanya jangan sampai pasien mengalami kebocoran plasma sehingga mengakibatkan DBD itu masuk ke dalam status yang lebih parah kalau kita sebut istilahnya adalah Dengue Syok Syndrome (DSS). Tapi ini tergantung dengan kecepatan pihak keluarga orang yang terkena DBD tersebut ke rumah sakit, khususnya bayi atau balita," dia kembali menjabarkan.

Sedangkan ciri-ciri umum DBD bisa dikenali lewat deman tinggi disertai ruam di kulit atau bintik, nyeri pada tulang dan persendian.

"Gejala DBD ini adalah demam tinggi di hari pertama sampai ketiga, dan turun dihari keempat dan kelima. Tetapi masyarakat terkadang lengah, mereka kira saat demam turun maka telah pulih. Padahal perlu diperhatikan, pada saat itulah masa kritis DBD. Kalau dia bisa melewati hari keempat kelima, di hari keenam suhu tubuh akan kembali tinggi. Sampai yang bersangkuta bisa melewati ini maka selanjutnya akan bagus," tutupnya.