Kebijakan BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual-Beli Tanah Dinilai Tidak Nyambung

Ujang Komarudin. (Istimewa/rmolsumsel.id)
Ujang Komarudin. (Istimewa/rmolsumsel.id)

Kebijakan Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menempatkan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masuk dalam syarat jual beli tanah terus menuai polemik.


Bahkan, salah satu pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai kebijakan tersebut tidak nyambung.

Dia mengatakan Surat Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian ATR/BPN Nomor HR.02/153-400/II/2022 itu dinilai aneh dan cenderung mengada-ngada.

"Aneh, dan itu urgensinya apa ya?" kata kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (19/2).

Menurut Ujang, alasan Kementerian ATR/BPN menjadikan kartu peserta BPJS Kesehatan menjadi syarat permohonan pelayanan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun alias jual beli tanah, tidak masuk di akal.

"Hubungan antara pertanahan dan kesehatan apa? Pemerintah harus menjelaskan ke publik, karena ini seperti 'Jaka Sembung bawa golok'," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini.

Ujang menyarankan pemerintah fokus terhadap kontroversi Jaminan Hari Tua (JHT) yang dananya mengendap dan boleh dicairkan di usia 56 tahun.

Menurutnya, penyelesaian masalah JHT lebih urgen ketimbang mengeluarkan kebijakan yang seperti "jaka sembung bawa golok" alias tidak nyambung itu.

"Jika suatu kebijakan banyak yang memprotes itu artinya kebijakan tersebut tak pro rakyat. Seperti kebijakan JHT yang tak pro pekerja. Dan soal BPJS kesehatan sebagai syarat jual beli tanah ini aneh bin ajaib," pungkasnya.