Berdasarkan data analisa citra satelit yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), total luas lahan yang sudah terbakar di Sumsel tahun ini mencapai 2.702 hektar.
- Menko Polkam: Pemerintah Tambah Desk Baru untuk Kebakaran Hutan dan TPPO
- Diduga Ada Unsur Kesengajaan, Kebakaran Lahan di OKI Terus Berlangsung Meski Curah Hujan Tinggi
- Usai Karhutla, Sumsel Kini Hadapi Ancaman Banjir
Baca Juga
Dalam citra tersebut, Kabupaten Ogan Ilir memiliki luasan lahan terbakar yang paling besar, yakni mencapai 1.398 hektar. Salah satu sumber kebakaran di wilayah tersebut berasal dari lahan perkebunan tebu milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis. Bahkan dalam tahun ini, setidaknya sudah tiga kali terjadi kebakaran di areal perusahaan itu.
“Dari tiga kali kebakaran itu, terdapat total luasan 40 hektar,” kata Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan (BPPIKHL) Wilayah Sumatera, Ferdian Krisnanto saat dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel, Rabu (21/9). Temuan ini menurutnya juga bermula dari pengamatan dan pemantauan udara.
Menindaklanjuti pemantauan tersebut, pihaknya langsung berkoordinasi dengan tim Manggala Agni untuk mengecek di lokasi sehingga terungkap bahwa lokasi tersebut berada di areal PTPN VII Cinta Manis.

Dinas LHP Sudah Layangkan Surat Peringatan
Kebakaran yang terus berulang di areal PTPN VII Cinta Manis menurut Ferdian membuat pihaknya meminta Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Sumsel untuk mengerahkan tim penegakan hukum (Gakkum) mengusut kejadian kebakaran tersebut.
“Kalau satu kali mungkin masih bisa diterima. Tapi kalau tiga kali kejadian kan itu beda ceritanya. Apakah ada kesengajaan atau tidak, biar nanti gakkum yang usut,” kata Ferdian.
Sebab menurutnya, UU Cipta Kerja tahun 2020 telah mengatur bahwa perusahaan pemegang izin usaha perkebunan maupun kehutanan tetap berkewajiban menjaga areal konsesinya dari ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
“Itu sudah jelas dalam aturan dan wajib dijalankan. Kalau memang terus berulang dan ditemukan ada unsur kesengajaan, tentu ada sanksi-sanksi yang bisa dijatuhkan,” bebernya.
Kebakaran di perkebunan tebu tersebut mendapat perhatian tersendiri. Sebab, tidak hanya menyumbang dari sisi kebakaran lahan. Tapi juga emisi karbon.
“Kalau kita bicara perubahan iklim itu lebih luas lagi. Perkebunan tebu menyumbang cukup besar terhadap peningkatan emisi karbon. Saya harap ini bisa menjadi perhatian seluruh pihak,” tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Sumsel, Edwar Chandra membenarkan pihaknya telah melayangkan surat peringatan kepada sejumlah perusahaan perkebunan yang lahannya mengalami kebakaran berulang.
“Iya sudah, data ada di kabid gakkum DLHP,” ujarnya melalui pesan Whatsapp. Untuk itu, dia juga mengimbau perusahaan yang ada di Sumsel untuk bertanggung jawab menjaga lahannya agar tidak terjadi kebakaran. “Bertanggungjawab dan bila ada harus cepat dipadamkan,” terangnya.
Pembakaran Lahan Sebagai Upaya Penghematan Biaya
Proses pembakaran tanaman tebu merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan pembudidaya untuk menghemat biaya produksi saat panen. Sebab, hal ini bertujuan untuk menghilangkan daun-daun yang telah kering dan lapisan lilin.
“Jadi tidak perlu menyediakan tenaga kerja untuk mengupas daun kering dan proses pembersihan lainnya,” kata Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sriiwjaya, Dr Ir Tri Tunggal MAgr saat dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel.
Menurutnya, proses pembakaran tanaman tebu sebetulnya bisa menurunkan tingkat rendeman. Kualitas tanaman juga akan menurun. Hanya saja, penurunannya tidak terlalu signifikan.
“Memang ada penurunan kualitas. Karena kan ada sisa arang dan lainnya. Tapi penurunannya itu tidak terlampau jauh,” terangnya. Karena perbedaan yang tidak terlampau signifikan inilah, pembudidaya memilih untuk membakarnya.
Biasanya, kata Tri, pembakaran tanaman tebu dilakukan di tengah kebun yang jauh dari lokasi pemukiman penduduk. Sebab, bisa membahayakan masyarakat sekitar. Baik dari sisi sambaran api ke rumah maupun asap dari pembakaran.
“Untuk kebun yang berdekatan dengan pemukiman padat penduduk biasanya panen dilakukan secara manual dengan mempekerjakan penduduk sekitar,” bebernya.
Dia juga menjelaskan, hasil pembakaran tanaman tebu dapat menambah porositas tanah yang nantinya membuat tanaman tebu yang akan ditanam berkembang lebih bagus lagi.
“Namun secara akademis, proses ini tidak disarankan karena bisa memusnahkan mikro organisme yang ada di dalam tanah,” tandasnya.
Kebakaran Lahan Gambut Diprediksi Cukup Aman Tahun Ini
Kejadian Karhutla di Sumsel tahun ini mulai mengalami pergeseran. Dari sebelumnya terjadi di lahan gambut dan rawa menjadi ke lahan mineral. Dari total 2.702 hektar lahan yang terbakar tahun ini, hampir keseluruhannya berada di lahan mineral.
“Untuk lahan rawa dan gambut itu hanya sekitar 43 hektar. Sebagian besar itu ada di lahan mineral,” kata Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan (BPPIKHL) Wilayah Sumatera, Ferdian Krisnanto saat dibincangi, Rabu (21/9).
Menurutnya, meski tidak sampai menimbulkan bencana asap, namun kebakaran yang terjadi di tahun ini menjadi yang terluas selama dua tahun terakhir. Untuk diketahui, total lahan yang terbakar di 2020 hanya mencapai 1.883 hektar. Sementara di 2021 total lahan yang terbakar mencapai 2.003 hektar.
“Kita sudah terbantu dengan panjangnya musim hujan. Persiapan yang dilakukan personel juga sudah lebih baik dari tahun lalu. Tetapi, lahan yang terbakar lebih luas dari tahun sebelumnya. Seolah mengolok-olok kita,” keluhnya.
Dia mengatakan, kebakaran di lahan mineral ini tidak terfokus di satu titik dengan luasan yang luas. Kebakaran yang terjadi menyebar dengan titik luasan yang kecil.
“Ada satu hektar di titik ini. Lalu satu hektar lagi di titik lain. Luasannya itu sedikit-sedikit, tetapi ketika dikumpulkan jadi banyak,” bebernya.
Pembakaran lahan, kata Ferdian kebanyakan disebabkan pula oleh pembukaan lahan perkebunan oleh masyarakat. “Seperti di Prabumulih ada yang kami temukan masyarakat yang membakar lahan untuk kebun nanas. Lalu di Pali untuk peremajaan tanaman karet. Ada juga kebakaran yang berada di lahan konsesi perusahaan,” ucapnya.
Khusus untuk lahan rawa gambut, Ferdian menuturkan, prediksinya akan tetap basah hingga akhir tahun. Sebab, berdasarkan prediksi BMKG, Oktober mendatang sudah masuk musim penghujan. “Sehingga embung atau kantong gambut itu masih terendam dengan air,” tandasnya.
- Menko Polkam: Pemerintah Tambah Desk Baru untuk Kebakaran Hutan dan TPPO
- Ratusan Warga Belida Darat Ancam Tutup Lokasi Minyak Pertamina, Desak Ketegasan Pj Gubernur
- Diduga Ada Unsur Kesengajaan, Kebakaran Lahan di OKI Terus Berlangsung Meski Curah Hujan Tinggi