Kasus Rp38 Miliar Guncang UBD, Pengamat Sebut Kampus Seharusnya Jadi Cermin Integritas, Bukan Aset Komersial

Kampus Universitas Bina Darma Palembang/ist
Kampus Universitas Bina Darma Palembang/ist

Penetapan Rektor Universitas Bina Darma (UBD) Palembang, SA, sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggelapan dana sewa lahan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp38 miliar, memicu gelombang kritik dari masyarakat. 


Tak hanya warganet, kalangan DPRD Sumatera Selatan hingga pegiat antikorupsi pun angkat bicara, menyerukan pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan.

Kasus ini bermula dari laporan Suheriyatmono dan Rifa Ariani yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan seluas 5.771 meter persegi yang telah disewakan ke pihak UBD sejak tahun 2001 dengan nilai sewa Rp75 juta per bulan.

Namun, sejak SA menjabat sebagai Rektor, pembayaran sewa dihentikan secara sepihak. Kerugian ditaksir mencapai Rp38 miliar dan kasus ini dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada 2022, sampai kemudian berproses hingga penetapan rektor dan beberapa pejabat lain sebagai tersangka.

Netizen Kecewa: “Sedih, Almamater Tercoreng”

Unggahan video terkait penetapan tersangka terhadap SA di TikTok langsung banjir komentar warganet. Banyak alumni menyuarakan rasa kecewa dan sedih atas nama baik kampus yang tercoreng.

“Sedih dengernyo, aku alumni BIDAR angkatan 1999,” tulis akun @user4610094794748.

“Cakmanolah nasib ijazah aku ye,” timpal akun @babybells.09.

Kekhawatiran utama para alumni adalah reputasi ijazah dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tersebut yang ikut terguncang.

Rahmat Sandi, alumni sekaligus aktivis Suara Rakyat Informasi Sriwijaya (SIRA), berharap agar persoalan hukum ini tidak berdampak pada aktivitas mahasiswa.

“Kasihan mahasiswa yang masih aktif kuliah. Ini masalah administratif dan perdata, jangan semua yang berhubungan dengan kampus ikut dipermasalahkan,” ujarnya.

Pengamat Sebut Kampus Harus Jadi Teladan, Bukan Pusat Masalah

Sementara itu, Pengamat dan aktivis antikorupsi, Ade Indra Chaniago dari Pusat Studi Kebijakan dan Politik (PSKP), menyesalkan keterlibatan pejabat tinggi kampus dalam kasus hukum yang mencoreng dunia pendidikan.

“Kampus seharusnya jadi pusat integritas, bukan justru terlibat dalam skandal penggelapan dan pencucian uang,” tegasnya.

“Ini momentum untuk membangun kesadaran antikorupsi di lingkungan akademik. Jangan jadikan kampus sekadar tempat cari gelar, tapi juga tempat membentuk karakter," ujarnya. 

Ade mendesak agar proses hukum dilakukan secara objektif dan terbuka demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.

DPRD Sumsel: Jangan Hakimi Sebelum Inkrah

Menanggapi kasus ini, Anggota Komisi I DPRD Sumatera Selatan, Chairul S. Matdiah, mengingatkan publik untuk tidak terburu-buru menghakimi pihak yang belum terbukti bersalah.

“Prinsip praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi. Mari hormati proses hukum hingga ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Sebelumnya, kuasa hukum SA, Reinhard Richard A. Wattimena, menyebut penetapan tersangka terhadap kliennya terlalu prematur dan berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi.

“Belum ada putusan perdata inkrah terkait sengketa tanah. Ini seharusnya ranah perdata, bukan pidana. Penetapan tersangka terkesan dipaksakan,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa kliennya baru diperiksa sebagai saksi, belum sebagai tersangka secara langsung, dan kini tengah menempuh jalur perdata dengan mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Palembang.