Investasi Energi Terbarukan di Indonesia Butuh Dana Rp624 Triliun per Tahun

Foto bersama peserta
Foto bersama peserta

Indonesia membutuhkan anggaran sebesar 245 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.500 triliun sampai 2030 untuk pembiayaan perubahan iklim berdasarkan target Nationally Determined Contributions (NDC) yang dikeluarkan Kementerian Keuangan. 


Sementara investasi untuk melakukan transisi energi di sektor ketenagalistrikan membutuhkan setidaknya 800-1.380 miliar Dolar AS hingga tahun 2050. "Rata-rata sekitar 30-40 miliar Dolar AS atau sekitar Rp 624 triliun per tahun berdasarkan riset dari kami dan sejumlah lembaga lainnya," kata Koordinator Riset, Sosial Kebikaan dan Ekonomi Institute for Essential Services Reform, Martha Jesica Solomasi Mendrofa Martha dalam Lokakarya Media: Perkembangan Kerangka Kebijakan dan Regulasi Transisi Energi di Indonesia yang dilaksanakan di Palembang Selasa (22/10). 

Sayangnya, kebutuhan dana investasi energi terbarukan tersebut masih cukup rendah. Berdasarkan data, pada tahun 2023, realisasi investasi energi terbarukan di Indonesia hanya mencapai 1,5 miliar dolar AS. Angka tersebut masih belum mencapai target yang ditetapkan sebesar 1,8 mliar Dolar AS pada tahun tersebut. 

Di sisi lain, investasi ada energi fosil sangat tinggi yang mencapai 27,06 miliar dolar AS. "Bahkan angka ini meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya," katanya. 

Dari sisi anggaran nasional (APBN), alokasi anggaran untuk pengembangan energi terbarukan juga masih rendah. "Hanya sekitar 2 miliar dolar AS yang dialokasikan dalam delapan tahun terakhir," bebernya. 

Sebenarnya untuk mendapatkan alokasi pembiayaan transisi energi, Indonesia memiliki sumber-sumber pendanaan yang potensial untuk digunakan. Seperti dari Just Energy Transition Partnership (JETP). Dari lembaga tersebut, Indonesia mendapatkan pembiayaan sekitar 21 miliar Dolar AS. 

"Per Juli 2023, Indonesia sudah mengantongi 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp16,2 triliun yang salah satunya digunakan untuk pembangunan pembangkit geothermal,:" terangnya. 

Lalu, Indonesia juga mendapatkan pembiayaan sekitar 500 juta Dolar AS dari Asian Development Bank (ADB) untuk mendukung transisi energi. Salah satu sumber pembiyaan lainnya yakni dari perdagangan karbon. Sejak diluncurkan pada 2023, hingga Agustus 2024, total nilai perdagangan karbon di Indonesia baru mencapai Rp6,14 miliar. 

"Bisa juga dari perdagangan karbon. Tapi ini nilainya cukup kecil. Potensinya ada kalau diterapkan ke seluruh perusahaan yang operasionalnya menghasilkan karbon dan ini bisa digunakan untuk membiayai transisi energi," terangnya. 

Hingga saat ini, menurut Martha, baru 7 provinsi di Indonesia yang sdah mencapai target realisasi bauran energi terbarukan di 2022, yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat, Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Maluku. Sementara provinsi lainnya masih belum mencapai target bauran energi yang ditetapkan nasional sebesar 23 persen. 

"Rata-rata selisih target dan realisasi bauran energi terbarukanyang belum tercapai adalah 10 persen," ucapnya. 

Sementara itu, Kabid Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Aryansyah mengatakan, Sumatera Selatan yang memiliki potensi energi terbarukan sebesar 21.032 MW, telah memanfaatkan 989,12 MW atau 4,70 persen dari potensi tersebut pada tahun 2023. 

Untuk itu, sinergi antara pemerintah daerah, akademisi, BUMN, sektor swasta, dan masyarakat akan menjadi kunci dalam mempercepat realisasi target-target energi terbarukan.

“Dalam lima tahun ke depan, kami memiliki rencana pengembangan energi terbarukan di Sumatera Selatan, di antaranya penyiapan survei dan studi kelayakan proyek energi baru terbarukan, penyempurnaan regulasi, peningkatan kapasitas Pembangkit Listrik Panas Bumi seperti PLTP Lumut Balai 55 MW dan PLTP Danau Ranau 20 MW, dan kerjasama internasional dengan pengembang dari China untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hingga 300 MW,” tandasnya.