Ini Penjelasan Ahli Mikrobiologi Sumsel Terkait Badai Sitokin yang Serang Deddy Corbuzier

Ahli Mikrobiologi Sumsel, Prof Yuwono. (dok/rmolsumsel.id)
Ahli Mikrobiologi Sumsel, Prof Yuwono. (dok/rmolsumsel.id)

Presenter,Pesulap dan YouTuber tanah air, Deddy Corbuzier sempat menyatakan pamit dari media sosial dan podcastnya. Ternyata, kemunduran pria yang memiliki nama asli Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo tersebut disebabkan dirinya terkena Covid-19.


Parahnya lagi, pria kelahiran Jakarta 28 Desember 1976 ini mengalami serangan badai Sitokin. Hingga membuat dirinya sempat mengalami fase kritis dan hampir meninggal.

“Saya sakit.., kritis, hampir meninggal karena badai Cytokine (Sitokin). Lucunya dengan keadaan sudah negatif. Yes Its Covid,” ungkap Deddy dalam akun Instagramnya, @mastercorbuzier, Minggu (22/8).

Lantas sebenarnya apakah badai Sitokin yang diderita Deddy tersebut?

Ahli Mikrobiologi Sumsel, Prof Yuwono menjelaskan, orang yang terkena Covid-19, pada pekan pertama mengalami fase yang dinamakan flu like syndrome atau gejala-gejala yang menyerupai flu. Nah, pada minggu kedua, jika penyakit berlanjut akan terjadi critical phase atau fase kritis. Bisa juga di minggu kedua ini, penderita sudah sembuh.

“Itulah kenapa isolasi mandiri dilakukan selama 14 hari,” kata Yuwono saat dihubungi, Kantor Berita RMOLSumsel.id.

Nah, minggu kedua fase kritis tersebut ditandai dengan perlawanan imunitas yang begitu kuat. Perlawanan itu, sambung Yuwono, dilakukan oleh zat dalam tubuh yang dinamai Sitokin. Utamanya adalah interlukim 6 atau IL6. Pada perlawanan yang begitu tinggi, zat Sitokin ini berproduksi cukup banyak di dalam tubuh.

“Kondisinya tumpah ruah. Zat ini berperang melawan virus yang masuk ke dalam tubuh. Perang antara Sitokin dan virus membuat tubuh dalam keadaan tak kuat. Gejalanya seperti bisa hipertensi, kesadaran menurun. Bisa orang itu teler atau koma. Lalu suhu badannya juga bisa menurun, agak dingin atau demam tinggi sampai 42 derajat,” ucapnya.

Gejala lainnya yakni respon terhadap pengobatan menjadi tumpul. Sehingga, sambung Yuwono, zat Sitokin dalam tubuh jika sudah keluar tidak hanya menghalangi virus tapi juga merusak tubuh sendiri.

“Dalam sitokin ada yang dinamakan TNF Alpha. Ini pada orang tertentu bisa membuat badan kurus kering. Seperti orang yang menderita TBC. TNF Alpha ini bisa merusak tubuh. Kenapa disebut badai Sitokin karena keluarnya cukup banyak,” bebernya.

Ia menjelaskan, serangan badai Sitokin hanya dialami oleh segelintir penderita Covid-19. Berdasarkan data yang dimiliki, Badai Sitokin hanya menyerang sekitar 0,5 persen penderita Covid-19. Hingga kini, dunia kedokteran juga masih belum memahami kenapa badai Sitokin bisa menyerang seseor ang.

“Dokter juga tidak tahu kenapa bisa terjadi pada orang tertentu,” ucapnya.

Yuwono menuturkan, meski begitu dokter memiliki beberapa upaya pengobatan. Seperti pemberian obat antibody monokronal. Seperti Actemra yang sempat langka beberapa waktu lalu. Obat ini sekali penyuntikan memakan biaya Rp13 juta. “Itu bisa beberapa kali suntik. Sehingga total bisa mencapai Rp150-160 juta. Itulah antibody monokronal untuk menghadang sitokin ini tadi,” terangnya.

Kemudian metode lainnya menggunakan terapi plasma. Kemudian diberikan obat teroid untuk meneredakan badai tersebut. Disamping alat bantu lainnya seperti ventilator dan beberapa alat lain.

“Namun, kemungkinan sembuh atau bertambah beratnya masih fifty fifty. Itulah ganasnya jika terkena badai sitokin,” pungkasnya.