Giliran 13 Asosiasi Kesehatan Desak Jokowi Ambil Komando Penanganan Covid-19

13 asosiasi kesehatan dalam pernyataan sikap/repro
13 asosiasi kesehatan dalam pernyataan sikap/repro

Bukan waktu yang sebentar pandemi Covid-19 menerpa bangsa Indonesia, yakni terhitung sudah hampir satu setengah tahun sejak Maret 2020 lalu kasus positif pertama diumumkan pemerintah.


Kelompok yang paling merasakan imbas dari bencana kesehatan ini ialah para tenaga kesehatan, yang bekerja setiap waktu untuk membantu warga yang terpapar Covid-19 untuk bisa sembuh.

Namun, sampai saat ini para tenaga kesehatan menilai langkah kebijakan penanganan Covid-19 yang dibuat dan dilakukan pemerintah tak kunjung menyelesaikan masalah, alih-alih tidak seperti yang berhasil dilakukan negara-negara lain di dunia.

Para tenaga kesehatan yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (Kompak), menyampaikan pernyataan sikapnya terhadap langkah kebijakan penanganan Covid-19 pemerintah.

Ada sebanyak 13 profesi yang tergabung di dalam Kompak ini. Di antaranya PB IDI, PDGI, IAKMI, DPP PPNI, PERSI, PP IBI, PP IAI, ADINKES, DPP KESTRAKSI, GAKESLAB Indonesia, PATELKI, GP JAMU, DPP PERSAGI dan Koalisi Masyarakat dan Profesi Asosiasi Kesehatan.

Ketua Umum dan atau Sekretaris Jendral dari asosiasi-asosiasi profesi kesehatan tersebut menandatangani pernyataan sikap yang disampaikan dalam bentuk dokumen dan jumpa pers virtual pada Rabu siang (18/8).

Ketua Umum PB IDI, Daeng M. Faqih menjelaskan, organisasi profesi tenaga kesehatan yang tergabung dalam Kompak ini merasa prihatin dengan kondisi pandemi Covid-19 Indonesia, yang sampai saat ini masih belum menunjukkan tren perbaikan dan telah menimbulkan dampak cukup besar.

Dirinya mencatat, hingga perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 Republik Indonesia Selasa kemarin (17/8), penambahan kasus positif masih mencapai 20.741 kasus sehingga totalnya sudah 3.892.479 orang, sekalipun kasus konfirmasi sudah mengalami penurunan dari lonjakan pada bulan Juli lalu.

"Di mana Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-13 dunia," ujar Daeng.

Selain itu, Daeng juga menyebut kasus kematian Covid-19 masih menunjukkan pertambahan yang cukup tinggi hingga kemarin. Di mana angkanya sebanyak 1.180 kasus kematian bertambah, dan totalnya sudah 120.013 jiwa.

"Angka kematian masih tinggi, bahkan Indonesia beberapa kali mencatat rekor kasus kematian harian tertinggi di dunia," tuturnya.

Dari segi potensi keterpaparan atau positivity rate, Indonesia masih berada pada kisaran yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen, yaitu selalu di atas 20 persen selama satu setengah tahun belakangan.

Fatalnya, menurut Daeng, banyak tenaga kesehatan yang meninggal akibat dari penanganan Covid-19 yang lemah dibuat pemerintah. Rinciannya, ada 640 dokter, 98 dokter gigi, 637 perawat, 377 Bidan, 59 Apoteker, 34 Ahli Gizi, 13 Ahli Kesehatan masyarakat, dan 33 Ahli Teknologi Laboratorium.

"Padahal Sumber Daya Manusia Kesehatan merupakan kunci dari ketahanan Sistem Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid-19," tegasnya.

Daeng juga masih sanksi jika vaksinasi dijadikan strategi andalan oleh pemerintah untuk menekan laju penularan Covid-19. Karena dalam catatannya, dari target 208.265.720 orang yang menjadi sasaran vaksinasi, baru tercapai 26,40 persen yang disuntik dosis pertama dan 14 persen untuk dosis kedua.

"Capaian ini masih sangat jauh dari target yang ditetapkan," ucapnya.

Tak kalah penting, Daeng juga menyebut upaya 3T (tetsing, tracing, treatment) yang dilakukan pemerintah jauh dari standar. Di mana sampai saat ini, belum tercapai 400.000 orang di tes per harinya.

Padahal, berdasarkan ketentuan WHO, dengan melihat positivity rate Indonesia sebesar 15 persen sampai di bawah 25 persen, maka seharusnya dilakukan testing 10 per 1.000 penduduk, atau sekitar 400.000 orang per hari.

Tapi dari analisis Daeng, selain target testing tidak tercapai, Indonesia juga belum melakukan testing berbasis hasil tracing (testing epidemiologi), akan tetapi masih di dominasi testing yang bersifat skrining seperti untuk perjalanan dinas atau luar kota.

"Harga testing Covid-19 di Indonesia juga masih dianggap terlalu mahal jika dibandingkan dengan negara lain. Adapun terkait pelaksanaan tracing juga demikian masih jauh dari target yang ditetapkan WHO," kata Daeng.

Atas beragam persoalan tersebut, Kompak meminta agar penanganan Covid-19 ini langsung diambil alih oleh Presiden Joko Widodo, dengan beberapa catatan di bawah ini:

1. Meminta Presiden RI untuk membuat sebuah platform penanganan Pandemi Covid-19 yang terpusat yang dikendalikan langsung oleh Presiden dengan pendanaan APBN yang memprioritaskan kepada masalah Kesehatan dan dampak langsung yang timbul akibat Covid-19, mengacu kepada UU yang berlaku. Penanganan Pandemi harus dikembalikan kepada tatanan sistem kesehatan.

2. Meminta Presiden RI agar segera menyusun dan menetapkan roadmap penanganan Pandemi Covid-19. Pandemi merupakan masalah global, sehingga standar penanganan juga harus mengikuti standar global. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan 6 indikator penanganan Covid-19, yaitu transmisi komunitas, angka kasus baru, angka kasus yang dirawat di RS, angka kematian, kapasitas respon, dan treatment. Indikator tersebut harus menjadi perhatian kita bersama dan tidak boleh ada yang dihilangkan sebagai alat ukur penanganan pandemi.

3. Meminta Presiden RI untuk mempercepat pencapaian target vaksinasi nasional yang efektif. Pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan ketersediaan vaksin, distribusi vaksin, dan pelaksanaan vaksinasi agar berjalan dengan baik dengan mengoptimalkan sumber daya kesehatan yang ada.

4. Meminta Presiden RI untuk memperkuat pelaksanaan 3T mengacu kepada standar global yang telah ditetapkan oleh WHO. Inkonsistensi pelaksanaan 3T sesuai standar menjadi penyebab masih meningkatnya kasus Covid -19 di Indonesia. Pelaksanaan 3T ini merupakan kunci pengendalian pandemi sehingga harus dilakukan dengan baik, benar, komprehensif, dan jujur.

5. Meminta Presiden RI agar lebih memperhatikan perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan, baik masalah perlindungan dalam pekerjaan (APD, jam kerja, beban kerja, insentif) maupun perlindungan hukum serta keamanan selama menjalankan tugas profesi kesehatan. Terkait dengan insentif tenaga Kesehatan agar dibagikan kepada semua tenaga Kesehatan di fasilitas kesehatan secara proporsional dan tepat waktu, dengan mekanisme dan prosedur administrasi yang lebih sederhana, baik di pusat maupun daerah.

6. Meminta Presiden RI agar meningkatkan alokasi anggaran untuk memperkuat ketahanan sistem kesehatan, termasuk untuk memperkuat program 3T guna percepatan penanganan Pandemi Covid-19. Alokasi anggaran harus proporsional baik untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) maupun Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).

7. Meminta Presiden RI untuk memperkuat ketahanan sistem Kesehatan. Pelayanan Kesehatan primer, skunder, tersier harus diperkuat sehingga Indonesia lebih tangguh dalam menghadapi goncangan bencana kesehatan. Pembangunan Kesehatan harus diprioritaskan pada pembangunan sektor hulu yang menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif dengan memberdayakan peran serta masyarakat.

8. Meminta Presiden RI untuk memperbaiki sektor hilir penanganan Covid-19 dengan menjamin tersedianya tempat perawatan, obat, oksigen, alkes, kelengkapan diagnostik, vaksin dan rantai dinginnya, serta sarana pendukung lainnya. Jejaring pelayanan terintegrasi juga harus diperkuat sejak pemantauan isoman/isoter, RS lapangan/darurat, RS rujukan Covid-19 dengan sistem komunikasi dan informasi yang terpadu serta sistem pelaporan data yang akurat dan real-time sehingga dapat dijadikan dasar penentuan kebijakan. Edukasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan isoman juga harus diperkuat untuk mencegah perburukan penyakit dan mengetahui tanda-tanda kapan harus segera ke Rumah Sakit.