Diduga Timbun Sungai dan Rusak Lingkungan, Warga Protes Aktivitas PT Bumi Merapi Energi

Kondisi terkini kebun warga di Desa Ulak Pandan yang terendam air diduga akibat tersumbatnya sungai akibat aktivitas PT BME. (rmolsumsel)
Kondisi terkini kebun warga di Desa Ulak Pandan yang terendam air diduga akibat tersumbatnya sungai akibat aktivitas PT BME. (rmolsumsel)

Warga Desa Ulak Pandan, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat mengeluhkan kondisi Air Keban atau Sungai Keban dan Sungai Tajo atau Tebat Kebut yang diduga tertimbun oleh aktivitas PT Bumi Merapi Energi (PT BME). 


Tertimbunnya dua aliran ini terjadi sejak dua tahun terakhir dan berdampak pada produktivitas kebun milik warga. Seperti diungkapkan oleh Mawardi (60), saat disambangi Kantor Berita RMOLSumsel beberapa waktu lalu. 

Mawardi menjelaskan, lokasi kebunnya berada persis di sebelah Sungai Keban, Desa Ulak Pandan. Air dari sungai ini mengalir ke Air Milang atau Sungai Milang. Dulu di dekat sungai yang bersebelahan dengan tanahnya itu juga pernah terdapat semacam kolam berdiameter kecil yang biasa digunakan untuk mandi. Namun, sekarang sumber air itu telah hilang.

“Biasanya sering dimanfaatkan warga untuk mandi, minum dan menyiram tanaman  selama tinggal di kebun. Tapi, sekarang Air Keban ini sudah hilang. Karena ditimbun oleh tanah pembuangan (disposal OB). Jejak sungainya itu masih ada. Itu tadinya kolam untuk warga biasa mandi. Tapi sekarang sudah kering,” kata Mawardi. 

Warga tidak lagi maksimal memanfaatkan hasil kebun karetnya akibat banjir yang disinyalir terjadi akibat penimbunan aliran sungai di dekat PT BME. (rmolsumsel)

Bercerita soal lahannya yang berada di tepi sungai tersebut, Mawardi mengaku telah membeli lahan itu sejak tahun 2007 silam, jauh hari sebelum PT BME yang bergerak di bidang pertambangan batubara masuk, bersama dengan puluhan perusahaan tambang lain yang kini 'menguasai' kawasan Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat.

Mawardi mengungkapkan jika lahan tersebut awalnya dijadikan semacam investasi agar bisa dinikmati anak cucunya. Sebab, disana ia menanam kayu hutan berkualitas tinggi seperti kayu ceru, medang, leban, ketapang dan berbagai jenis lainnya untuk nantinya digunakan oleh anak ataupun cucunya membangun rumah.

Namun setelah PT BME beroperasi, lokasi lahannya itu ternyata secara kebetulan berada persis di belakang bengkel workshop perusahaan. Lahannya itu kini tidak lagi teraliri air sungai tersebut. Bahkan di lahannya terdapat tanah pembuangan yang berupa lapisan penutup batubara. 

Awalnya Mawardi mengetahui hal ini setelah mendapatkan informasi dari tetangganya yang juga memiliki kebetulan melintas di dekan lahannya. Mawardi langsung datang memeriksa yang hasilnya membuat dirinya terkejut. 

“Saya diberi tahu tetangga saya kalau lahan saya sudah rata dengan tanah. Saya kurang percaya karena kan bentuk tanah saya itu kan seperti lereng. Jadi kok bisa rata. Rupanya saat saya cek, tanah saya itu sudah ditimbun,” ucapnya. 

Tim dari Dinas Lingkungan Hidup saat melakukan pemeriksaan di kawasan lahan dan kebun warga di Desa Ulak Pandan pada 2019 lalu. (handout rmolsumsel)

Mawardi kemudian mengajak tim Kantor Berita RMOLSumsel untuk melihat langsung lokasi kebunnya itu. Dari rumahnya, kami berjalan kaki sekitar 15 menit melintasi jalur yang menanjak dan terjal ke arah Bukit Serelo.

Untuk menjangkau tanah yang dimilikinya, kami melewati jalan tambang perusahaan dan masuk ke dalam bengkel atau workshop. Dan betul, setelah tiba, kondisi lahan milik Mawardi itu kini sudah tertutup tumpukan tanah. 

Mawardi mengaku telah mengadu ke sejumlah instansi terkait permasalahan lahannya tersebut. Namun, hingga kini tidak pernah ada kejelasan. “Mulai dari Bupati, DPRD, DLH seluruhnya sudah saya laporkan. Tidak ada kejelasan sampai sekarang,” ucapnya. 

Dia berharap, permasalahannya ini bisa ditengahi oleh pemerintah sehingga dirinya mendapat keadilan. “Lahan itu sudah saya pelihara belasan tahun. Tapi, hancur seketika oleh ulah dari perusahaan. Saya sangat berharap agar lahan saya itu bisa diganti rugi. Karena sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Mau ditanami lagi juga sudah susah,” pungkasnya. 

Mata Air Ditimbun Tanah Disposal, Kebun Karet Warga Kebanjiran

Warga Desa Ulak Pandan yang menjadi korban kesewenang-wenangan perusahaan bukan Mawardi seorang. Nasib serupa juga dialami Apriansyah (35) dan Risman (60). Keduanya merupakan petani karet yang memiliki lahan di sebelah areal produksi PT BME. Lahan karet tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama keduanya. 

Apriansyah memiliki lahan sekitar satu hektar. Sementara Risman punya lahan sekitar dua hektar. Letak lahan keduanya bersampingan. Di dekat lahan keduanya, dulu mengalir sungai kecil bernama Tajo atau yang sering disebut oleh warga lokal Sungai Tebat Kebut. Sama seperti Air Keban, sungai ini berasal dari mata air yang mengalir menuju Sungai Serelo. Bahkan, sungai tersebut merupakan sumber pengairan untuk mengaliri areal persawahan. 

Keluarga Risman dulunya memiliki sawah di dekat mengalirnya mata air tersebut. Luasannya sekitar dua hektar. Mereka sekeluarga secara bergantian mengelola sawah tersebut. 

“Kalau hasilnya itu bisa 3-4 ton sekali panen. Kami bergantian saja kakak beradik mengelolanya. Karena ini juga warisan orang tua. Tapi kalau untuk pendapatan utama saya tetap dari hasil karet,” ucapnya.

Air untuk persawahan didapat dari aliran sungai tersebut. Beberapa pemilik lahan yang ada di dekat sawah mereka juga ikut menggarap sawah. Bahkan, sempat terbentuk kelompok tani padi. “Karena banyak, kami akhirnya membentuk kelompok tani dan sempat mendapat bantuan dari pemerintah,” ucapnya. 

Kebun milik warga yang tergenang air, diduga akibat tersumbatnya aliran sungai akibat aktivitas pertambangan PT BME. (rmolsumsel)

Perusahaan lalu memperluas areal produksinya hingga ke lahan mereka. Hingga akhirnya, lahan persawahan warga pun dibebaskan. Lahan sawah keluarga Risman juga ikut dibebaskan. Praktis, sumber pendapatan Risman bergantung sepenuhnya kepadda lahan karet yang dimilikinya saat ini. “Jadi di sekitar lahan kami ini tidak ada lagi yang menanam padi,” ucapnya. 

Dijelaskannya, pasca lahan dibebaskan perusahaan lantas melakukan kegiatan operasi. Berupa penimbunan tanah disposal. Penimbunan tersebut dilakukan di areal persawahan hingga sungai kecil yang mengaliri persawahan. Awalnya, Risman tidak terlalu mempedulikan kegiatan operasi yang dilakukan perusahaan. 

Namun, kegiatan perusahaan ternyata berdampak terhadap perkebunan karet miliknya. “Awalnya ada serangan lumpur. Sekitar akhir 2018. Kemungkinan dari tanah disposal yang ditumpuk dan terbawa aliran sungai. Lahan saya dan punya pak Apriansyah sudah banyak yang tertutup lumpur,” ungkapnya. 

Meski tertutup lumpur, kegiatan penyadapan karet tetap bisa dilangsungkan. Walaupun sedikit terkendala. Selain itu, lumpur tersebut hanya menyerang sedikit areal perkebunannya. “Jadi masih bisa lah kalau mau nakok (sadap karet). Tapi untuk ke areal lumpur itu sangat sulit,” ucapnya. 

Setelah mendapat serangan itu, Risman dan Apriansyah selaku pemilik lahan lalu melayangkan protes ke perusahaan. Mereka juga bahkan melaporkan hal itu ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lahat. Tim dari DLH Lahat lalu turun dan mengecek lokasi.

“Hampir lebih dari 10 kali mereka datang mengecek. Tapi, untuk lahan kami berdua tidak ada solusinya,” ungkapnya. 

Menurutnya, di 2021 pernah ada pembebasan lahan yang dilakukan perusahaan. Namun, lahan yang dibebaskan berada jauh dari lokasi timbunan disposal. “Yang dibebaskan itu lahan di samping kiri kanan kami hingga sampai ke dekat jalan kabupaten. Tetapi, lahan kami berdua yang paling dekat dengan tumpukan disposal malah tidak dibebaskan. Tidak tahu kenapa,” bebernya. 

Ditambahkannya, saat ini kondisi lahan mereka sudah terendam air setinggi 4-5 meter. Bahkan pondok tempatnya biasa menginap untuk menjaga kebun juga telah terendam air. Air tersebut diduga berasal dari mata air yang ditu  tup. Karena terus keluar dan tidak memiliki jalur lagi, akhirnya merendam perkebunan karet mereka.

“Lahan karet saya sekitar setengah hektar terendam air. Ini sudah sejak pertengahan 2021 lalu. Apalagi ketika hujan. Air bertambah tinggi,” tuturnya. 

Risman berharap agar instansi pemerintah bisa turun tangan menyelesaikan permasalahan tersebut. “Kami disini menuntut keadilan. Sampai sekarang tidak ada penyelesaian dari perusahaan. Apa ini mau dialihkan airnya atau seperti apa penanganannya tidak ada sama sekali,” ucapnya.

Akibat lahan karetnya yang terendam air, Risman harus kehilangan hampir 30 persen dari pendapatannya. “Kalau dulu itu bisa 300 kilogram per minggu sekarang hanya 250 killogram. Belum lagi ini air makin lama makin naik dan imbasnya tentu ke lahan kami,” bebernya. 

Senada, Apriansyah mengungkapkan, pihaknya saat ini sudah tidak ingin lagi mempertahankan lahan karetnya. Dia minta agar perusahaan mengganti rugi lahan miliknya. Sebab, hasil dari kebun karet miliknya tidak sebanyak dulu.

“Entah apakah ikut tercemar limbah buangan perusahaan atau seperti apa, tapi produksi getahnya sudah menurun. Kalau dulu, bisa sampai 120 kilogram per minggu sekarang hanya 87 kilogram saja,” terangnya. 

Pria yang akrab disapa Yansyah ini menjelaskan, proses mediasi dengan perusahaan selalu menemui jalan buntu. Bahkan, DLH yang menjadi penengah atas permasalahan mereka hingga kini belum mengambil sikap. “Apakah keluar sanksi itu tidak ada. Atau mendesak perusahaan untuk ganti rugi atau memperbaiki lingkungan. Sama sekali tidak ada. Masalah ini sudah sangat berlarut-larut. Bahkan sudah dua kali ganti kepala dinas masih tidak selesai,” pungkasnya.