BRIN Tanpa BRAIN


AWAL Januari 2022, dunia riset dikagetkan dengan adanya berita seratusan saintis Lembaga Biologi dan Molekuler Eijkman (LBME) dipecat tanpa pesangon. Berita yang sama juga terjadi kepada puluhan ABK Kapal Riset Baruna Jaya yang langsung diperintahkan meninggalkan kapal per 1 Januari 2022 tanpa pesangon. 

Kekagetan ini tentu bukan karena sebatas pecat memecat saja yang memang bukan  suatu hal baru dan tabu. Kekagetan itu terjadi karena para pegawai atau karyawan yang dipecat-pecat itu tidak diberi pesangon.

Kasus seperti ini sebenarnya sudah terjadi sebelumnya, baik di BPPT, LIPI dan mungkin juga di lembaga penelitian lain sebagai buntut peleburan 4 LPNK (LAPAN, BATAN, LIPI dan BPPT) yang masih di proses di Mahkamah Konstitusi.

Korbannya umumnya pegawai honorer atau pegawai non-ASN seperti Satpam, tukang kebun, cleaning service, pegawai administrasi dan pegawai lainnya. Beberapa lembaga di antaranya kemudian bergotong royong memberikan pesangon dan bahkan tidak jarang yang membantu para pegawai non-ASN yang bernasib malang tersebut dengan cara tetap mempekerjakannya.

Instagram, Telegram, Twitter, dan WA Group berlabel #save_karyawan Eijkman dan Barunajaya kini pun bermunculan. Pimpinan BRIN dengan enteng dan lantang tanpa beban hanya mengatakan “mereka bukan ASN dan karenanya tidak berhak menerima pesangon”.

Pecat memecat atau pemberhentian pegawai memang suatu cara sangat mudah dengan kualitas pikir rendah untuk melakukan efisiensi dalam suatu organisasi. Dengan memberhentikan pegawai berarti salah satu beban biaya organisasi berkurang.

Namun cara tersebut bukan satu-satunya cara melakukan efisiensi. Efisiensi juga dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan faktor produksi (dalam hal ini pegawai) dalam organisasi menjadi lebih produktif (baca misalnya, Sedarmayanti, 2014; Acemoglu dan Robinson, 2012;).

Jadi efisiensi dengan cara memberhentikan yang dilakukan terhadap pegawai non-ASN pada LBME, BPPT, LIPI, ABK kapal Riset Baruna Jaya atau lembaga penelitian lain selama ini atas nama efisiensi sungguh sebagai cara orang barbar dan inhuman.

Cara tersebut apapun alasannya, tidak berlebihan jelas-jelas bertentangan dengan seluruh sila dalam Pancasila yang selalu dibaca lantang pada setiap apel Senin pagi BRIN.

Benar memang sejak Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional diundangkan, BRIN telah cukup banyak melakukan kerja, kerja, dan kerja.

Selain mewajibkan ASN BRIN mengisi absen di website yang telah terintegrasi dan apel pagi pada hari Senin, berbagai reorganisasi melalui peleburan telah dilakukan baik untuk 4 Lembaga Pemerintah Non Kementerian-LPNK (BPPT, BATAN, LIPI dan LAPAN) maupun Lembaga Pemerintah Kementerian–LPK (Kementerian Kesehatan, Perdagangan dan lain-lain), juga dengan pembentukan struktur organisasi baik kedeputian dan Organisasi Riset, BRIDA serta perangkat dibawahnya termasuk penunjukkan pejabat Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas, pembentukan rumah program riset, maupun memampangkan logo BRIN di kantor-kantor yang telah dilebur ke dalam BRIN.

Terlepas dari apresiasi tinggi vis a vis berbagai kritik dan saran oleh berbagai pihak atas kerja yang dilakukan BRIN, anehnya strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional yang semestinya harus menjadi head line media tidak pernah kunjung jelas terdengar alias gelap.

Padahal perintah Presiden Jokowi dalam Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional khususnya pada Bab 3 pasal 4 ayat b dan c  merupakan kunci atau subtansi fungsi tugas utama dari dibentuknya BRIN.

Pertanyaan Presiden Jokowi terkait dominasi ekosistem riset oleh lembaga pemerintah yang selama ini tidak menghasilkan produk yang kompetitif di tingkat global selama ini mestinya harus diungkapkan BRIN.

Begitu pula dengan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana anggaran puluhan triliun yang akan digelontorkan ke BRIN dikaitkan dengan temuan  apa yang akan BRIN banggakan di taraf global juga mutlak diketahui dunia riset dan para pemangku kepentingan lainnya. Juga, bagaimana BRIN menghasilkan riset dan inovasi untuk menjawab komplain masyarakat terhadap riset dan inovasi yang disebut-sebut tidak bisa berkompetisi.

Bahkan apa dan bagaimana kebaruan dalam ekosistem riset dan inovasi yang akan dirumuskan BRIN agar memberikan manfaat ekonomi besar mutlak dijelaskan kepada publik? Bagaimana program strategis BRIN dalam meningkatkan kualitas periset dan perekayasa yang katanya rendah? Dan seterusnya dan sebagainya.

Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dijelaskan jawabannya oleh BRIN, lantas mau dibawa kemana BRIN ini? Apakah kehadiran BRIN hanya sebatas Reinventing the Wheel yang bersifat coba-coba? Ataukah kehadiran BRIN ini untuk memuaskan syahwat beberapa pihak? Ataukah kehadiran BRIN cuma untuk mengharuskan periset, perekayasa dan ASN BRIN lainnya untuk mengisi absen dan atau mengikuti apel pagi saja yang sebelumnya tidak biasa dilakukan? Bukankah BRIN punya kewajiban mempertanggungjawabkan uang rakyat yang dipakai?

Jawaban BRIN atas pertanyaan substantive dan kunci  terkait apa dan bagaimana strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional secara terukur dan visioner mestinya diungkapkan BRIN dan bukan hanya berkutat dengan masalah administrasi, tehnis, komersialisasi aset, peleburan dan pecat memecat yang membuat dunia riset dan inovasi kisruh, gonjang ganjing dan tidak bermatabat.

Penjelasan ini sangat utama dan terutama penting untuk meyakinkan public bagaimana strategisnya kehadiran BRIN ini dan sekaligus untuk meredam pikiran-pikiran yang bersebrangan dengan dibentuknya BRIN (Baca Gde Siriana Yusuf, 2022). Saya yakin Presiden Jokowi dan kita semua ingin hal ini dijelaskan dan diyakinkan BRIN kepada dunia riset dan inovasi nasional. Jika tidak, BRIN hanya sebuah

Badan Riset dan Inovasi kosong tanpa BRAIN. 

| Penulis adalah pemerhati iptek dan inovasi Indonesia