Beda Pandangan Partai Nasdem dan Menteri Siti Nurbaya Soal Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan

Meneg LHK Siti Nurbaya (paling kiri) saat mendampingi Ketum Nasdem Surya Paloh dalam sebuah kesempatan kampanye di Bali beberapa waktu lalu. (net/rmolsumsel)
Meneg LHK Siti Nurbaya (paling kiri) saat mendampingi Ketum Nasdem Surya Paloh dalam sebuah kesempatan kampanye di Bali beberapa waktu lalu. (net/rmolsumsel)

Bencana alam yang terjadi di Indonesia, termasuk dunia tak lepas dari adanya perubahan iklim dunia. Kenaikan suhu panas bumi menyebabkan es di kutub mencair sehingga bumi berusaha bereaksi terhadapnya.


"Akibatnya banjir di mana-mana dan bisa kita lihat banyaknya bencana alam seperti banjir bandang di berbagai daerah karena naiknya permukaan air laut dan kekeringan di mana-mana," kata Ketua Bidang Lingkungan Hidup DPP Partai Nasdem, Lusyani Suwandi dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/11).

Salah satu faktor utama terjadinya pemanasan global adalah pencemaran lingkungan yang masih banyak terjadi. Kondisi ini pun sudah disadari seluruh dunia.

Oleh karenanya, Indonesia harus turut serta berpartisipasi aktif mengurangi emisi karbon penyebab perubahan cuaca ini, dengan antara lain menghentikan deforestasi atau penggundulan hutan.

“Juga harus ada upaya besar-besaran mereboisasi hutan gundul, mangrove dan pengelolaan sampah yang baik,” imbuhnya.

Dia menambahkan, secara bertahap juga harus meninggalkan penggunaan energi fosil dan diganti dengan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, seperti mobil listrik. Lalu, perlu ditingkatkan penggunaan energi bayu, solar panel, debit air atau angin.

"Meningkatkan kesadaran dan edukasi masyarakat juga harus dilakukan secara berkesinambungan. Menurut hemat saya, seluruh masyarakat dunia bertanggung jawab atas perubahan iklim dan harus bersama-sama memperbaikinya juga," tandas Lusy.

Beberapa waktu belakangan, wilayah Indonesia mengalami bencana alam. Banjir bandang terjadi di Desa Sumber Brantas, dan Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Kamis (4/11).

Di Jawa Barat juga terjadi banjir bandang, tepatnya di Kampung Cilogong, Pelag, Desa Sukalilah dan Kampung Cimuncang, Desa Sukajaya, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Garut, pada Sabtu (6/11). dilansir RMOL.ID. 

Meneg LHK Siti Nurbaya, Kader Nasdem yang Sempat Munculkan Kontroversi

Beberapa hari lalu, kader Partai Nasdem yang menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar ternyata tidak sepenuhnya setuju dengan hasil KTT Iklim COPS 26 di Glasgow, Inggris Raya beberapa waktu lalu. Di mana dalam pertemuan itu, lebih dari 100 pemimpin sepakat untuk mengakhiri dan membalikkan deforestasi pada tahun 2030.

Bagi Menteri Siti Nurbaya, menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.

“Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan di samping tentu saja harus berkeadilan,” tegasnya lewat akun Twitter pribadi, Rabu (3/11).

Pernyataan serupa, kata Siti Nurbaya juga dia sampaikan saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Selasa (2/11).

Dalam hal ini, Menteri Siti Nurbaya menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.

Dia lantas membandingkan penggunaan terminologi itu bagi Indonesia dan Eropa.

Di Eropa, kata dia, sebatang pohon ditebang di belakang rumah mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Sementara di Indonesia hal yang demikian bukan deforestasi.

“Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi UUD untuk melindungi rakyatnya,” sambung menteri dari Nasdem itu.

Secara nyata, Menteri Siti Nurbaya mencontohkan Kalimantan dan Sumatera, di mana banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.

“Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” tegasnya. 

Mendapat Tentangan dari Pegiat Lingkungan 

Greenpeace Indonesia menanggapi cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Twitter tentang Emisi Karbon dan Deforestasi. Menurut Greenpeace Indonesia, pembangunan atas nama kemajuan ekonomi sangat bisa sejalan dengan prinsip rendah karbon dan keberlanjutan ekologi.

“Misalnya dengan menerapkan Green Economy yang merupakan model pembangunan yang mengacu pada efisiensi sumber daya, penurunan gas rumah kaca, serta peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial,” melalui postingan Instagram @greenpeaceid pada Kamis, (4/11).

Green Economy atau Ekonomi Hijau juga dinilai memiliki tujuan untuk mengurangi resiko lingkungan dan kelangkaan ekologi, sekaligus menerapkan pembangunan berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Ada tiga agenda utama dalam Ekonomi Hijau.

Pertama, pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Kedua, kerusakan lingkungan teratasi ditandai dengan berkurangnya Gas Rumah Kaca. Ketiga, memastikan kekayaan alam memberi manfaat untuk kesejahteraan manusia.

Menurut Greenpeace Indonesia, Penerapan ekonomi hijau penting bagi Indonesia. Sebab, tanpa upaya penerapan prinsip ekonomi yang ramah lingkungan, membawa kerugian besar bagi semua. Data dari Greenpeace Indonesia ada 5.700 HA hutan yang hilang dalam rentan waktu Tahun 2000-2016. Terdapat juga 556 total bencana alam pada terjadi di awal 2021. Menyebabkan suhu bumi meningkat sebesar 3 C, dimana idealnya kenaikan hanya 1,5 C.

Lalu, Implementasi Ekonomi Hijau bisa dengan cara beralih dari energi batu bara ke energi terbarukan, menghentikan izin baru pembukaan lahan untuk kelapa sawit demi menjaga kelestarian hutan, membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang berorientasi pada proteksi lingkungan dan inklusi secara sosial.

Sayangnya, menurut Greenpeace meski RUPTL Hijau 2021-2030 penambahan EBT naik sebesar 51,6% tapi pembangkit fosil masih tetap bertambah sebesar 48,4%.

“Pemerintah Indonesia masih mempertahankan Kelapa Sawit sebagai solusi semu bagi kebutuhan energi. Artinya, pemerintah masih akan membuka lahan Kelapa Sawit yang kian memakan sisa lahan hutan kita. Nah, jika memang pemerintah terus berambisi untuk melakukan pembangunan besar-besaran, prinsip ekonomi hijau harus selalu jadi dasar dalam menentukan kebijakan.”

Sebab menurut Greenpeace juga, perjuangan kita melawan krisis iklim tidak boleh berhenti atas nama kepentingan politik atau atas nama oligarki.

Sebelumnya, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyampaikan pembangunan yang sedang berlangsung di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.

"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," demikian salah satu cuitan Siti Nurbaya.