Banyak Sekolah Memilih KBM Secara Luring

Proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilakukan secara dalam jaringan (daring) tidak selamanya berjalan maksimal, hal ini karena kurangnya fasilitas yang memadai di sekolah serta kurangnya akses jaringan internet.


Hal ini dirasakan oleh salah satu sekolah Pendidikan Non Formal (PNF) kota Palembang, yakni Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Sekolah Filial Palembang yang melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara luar jaringan (luring).

Kepala SKB dan Filial Palembang, Herman Wijaya mengatakan, pihaknya melakukan PJJ ada dua cara, pertama luring, kedua daring. Bahkan kedua sistem tersebut bisa dikombinasikan, namun pihaknya terpaksa memilih sistem KBM dengan pelaksanaan luring di tengah kekurangan fasilitas mengikuti PJJ dalam kondisi pandemi Covid-19.

"Kami memilih sistem kombinasi utamanya luring mengingat keterbatasan para siswa, ada yang memiliki Hp Android tapi tidak bisa untuk membeli kuota, ada juga yang tidak punya Hp Android. Ini salah satu kendala kita," ujar Herman, Selasa (21/7).

Dalam sistem luring, lanjut Herman, penerapan kombinasi menggunakan modul, tatap muka dalam seminggu sekali hingga sebulan sekali, dan mempelajari majalah sekolah. Ketika datang tatap muka, baik siswa dan pengajar tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19.

Dijelaskannya, memang semestinya dalam KBM sebaik-baiknya adalah tatap muka. Tujuannya agar penyampaian materi lebih jelas, pemantauan siswa lebih bebas dan bahkan mengawasi anak-anak menjadi lebih leluasa. Karena bertemu dengan anak secara langsung mendorong semangat mengajar para guru.

"Siswa yang datang ke sekolah selalu kita himbau untuk menggunakan masker, jaga jarak, serta jam masuknya kita atur tidak boleh ramai atau berkerumunan. Contohnya gini, hari Senin untuk kelas 1, hari Selasa kelas 2, dan Rabu untuk kelas 3, nanti Senin depan mereka kumpulkan tugasnya, setelah itu mereka ambil soal baru dan seterusnya begitu," terang Dia.

Apalagi secara kondisi perekonomian, siswa di sekolah filial dan SKB rata-rata menengah ke bawah dan kebanyakan sulit membeli buku serta keperluan lain, karena tidak mempunyai uang. Terlebih sekolah filial merupakan program Pemkot Palembang khusus anak jalanan yang putus sekolah.

"Sekolah filial mereka yang putus sekolah di usia sekolah sebelumnya dan masuk di sekolah filial dengan usia maksimal 25 tahun. Untuk pengambilan ijazah ada induk (sekolah), seperti tingkat SD induknya ke SDN 238 atau sekolah yang memang lokasinya dekat dengan siswa filial tersebut," jelas Herman.

Sedangkan, tingkat Sekolah Menengah Pertama menginduk di SMP N 19, kemudian jenjang SMA di SMA N 11 dan SMK induk sekolah ke SMK N 7 Palembang. Bagi siswa filial, karena mereka masuk sekolah induk, maka menerima dana bos.

Lanjutnya, masyarakat kota Palembang masih banyak yang belum mengetahui adanya SNF di Palembang, sehingga siswa yang mendaftar kurang dari kuotanya.

Pihaknya juga mengedarkan selebaran secara rutin. Namun, karena sekolah ini menginduk sehingga sistem belajar seperti sekolah umum yang harus datang ke sekolah. Bagi mereka anak-anak putus sekolah yang bekerja harian contohnya menampal ban atau angkut sampah menjadi sulit ikut belajar.

"Sebenarnya kita tidak membatasi kuota, jadi pendaftarannya masih minim yah. Masalahnya mereka tidak bisa datang setiap hari, ini yang masih kami pikirkan solusi terbaik. Untuk masalah seragam telah disiapkan kepala Dinas Pendidikan (Disdik) kota, sebagai bantuan bagi mereka yang kurang mampu. Itu tapi tahun lalu, tahun ini belum tahu. Karena ajaran baru mulai dan belajar luring dan online tanpa seragam tidak apa-apa," tuturnya.

Ia berharap agar pemerintah menyediakan alat praktek untuk keterampilan siswa, seperti bengkel otomotif atau mesin jahit.

"Kalau tidak ada praktek mereka percuma saja belajar secara teori. Kita memerlukan bengkel otomotif dan mesin jahit sekitar 20, kalau mereka lulus nanti bisa berwirausaha," tutupnya.