Badai Skandal Bank Sumselbabel, Masih Bayar Gaji Karyawan yang Berhenti [Bagian Ketiga]

Kantor Bank Sumsel Babel Jakabaring. (ist/rmolsumsel.id)
Kantor Bank Sumsel Babel Jakabaring. (ist/rmolsumsel.id)

Seperti yang telah diulas sebelumnya dalam episode ikan busuk dari kepala, permasalahan yang menjadi temuan di level Direksi dan Komisaris Bank Sumselbabel (BSB), disinyalir menjadi sebab permasalahan ini juga merambat ke level pegawai. 


Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan kalau BSB masih membayar sisa gaji secara prorate terhadap pegawai yang sudah berhenti bekerja, sehingga hal ini menunjukkan sejumlah kelemahan pada Divisi HCL. Yakni, pertama adalah mengenai pengecekan riwayat pinjaman pegawai sebelum diberhentikan dilakukan oleh RAC (KC) dan ADT (KP). 

Hal tersebut tidak sesuai, jika RAK/ADT sebagai bagian dari third line of defences, turut terlibat dalam aktivitas operasional bank. Seharusnya, hal tersebut dilakukan oleh bagian SDM (HCL) untuk memastikan seluruh kewajiban pegawai yang akan resign termasuk monitoring atas penyelesaian tersebut.

Kedua adalah belum adanya dual control dalam rangka memastikan ketepatan dan kebenaran atas hasil perhitungan kewajiban yang harus diterima/dibayarkan oleh pegawai. Lalu yang ketiga adalah ketika BSB diketahui belum memiliki kebijakan, jika pegawai tidak dapat memenuhi kewajibannya (pinjaman) di Bank sebelum pegawai tersebut diberhentikan, sehingga masih ditemukan Pegawai yang telah berhenti namun masih memiliki pinjaman di Bank. 

Bahkan dalam catatannya, OJK menyebut jika terdapat pegawai yang dikeluarkan dengan tidak hormat (kasus fraud) tahun 2022-2023 masih memiliki kewajiban pinjaman. 

Bagian berikutnya yang menjadi temuan dari OJK adalah mengenai penetapan Key Performance Indicator (KPI) yang merupakan tolok ukur kinerja karyawan untuk mencapai tujuan dari perusahaan. Dalam penetapan KPI untuk Satuan Kerja dan Unit Kerja belum inline dengan KPI Direktorat sehingga terjadi ketidaklinieran antara KPI Direktorat, Satuan Kerja dan Unit Kerja dibawahnya bahkan sampai dengan KPI Individual pegawai. 

OJK menyebutkan hal ini tercermin dari: Pertama, tidak terpenuhinya unsur perspektif yang telah ditetapkan oleh Bank (Financial, Customer, Internal Bussiness Process, Learning & Growth) untuk KPI Individual. Kedua, sasaran Strategis Peningkatan Kualitas Kredit dan Efektivitas Penagihan Kredit Bermasalah menjadi bagian dari Perspektif “Financial” di KPI Direktorat, namun pada KPI Cabang maupun Individu hal tersebut menjadi bagian dari Perspektif “Internal Business Process”.

Ketiga, sesuai tugas dan tanggung jawabnya, bahwa BKU membawahi kantor cabang Bank khusus konvensional. Namun demikian, pada penetapan KPI terdapat sasaran strategis yang kurang sesuai dengan sasaran strategis yang ditetapkan di KPI Direktorat.

Pada bagian ini dijelaskan pula beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari BSB yakni mengenai Penyelesaian transitoris Bank masih tergolong rendah, dimana seharusnya penyelesaian transitoris tersebut dapat menjadi KPI baik di Divisi Umum dan Manajemen Aset (UMA) maupun Cabang. Aktivitas transitoris adalah aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak termasuk dalam aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.

Kemudian, OJK juga mendapati indikator yang kontraproduktif, antara lain: a) SAF, jumlah dan nominal kasus fraud pada KPI Satuan Anti Fraud (SAF) yang menjadi faktor pengurang. Hal tersebut, berpengaruh terhadap pengungkapan kasus fraud yang merupakan tugas dari SAF; dan b) ADT, jumlah temuan pemeriksaan yang menjadi faktor pengurangan KPI. Hal ini tidak selaras dengan tugas ADT menerapkan fungsi pengendalian internal Bank. (bersambung)