ASN WIBAWA PEMERINTAH [Bagian Terakhir]

Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si
Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si

Perubahan sudah banyak dilakukan disetiap sektor pelayanan yang dilayani oleh Negara seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban, fiskal, anggaran APBN, Politik, TNI, POLRI, Pegawai Negeri, industri, perdagangan hingga pertambangan mineral dan Migas tidak luput untuk direformasi.

Mengutip dari Prof. Irfan Islamy yang menyatakan sebuah istilah “Organizational Slack” adalah sebuah kondisi kualitas pelayanan yang menurun dari yang seharusnya seperti lamban, tidak responsif, kurang inisiatif, tidak tepat dalam penanggulangan masalah masyarakat, meskipun pemerintah saat itu sudah mendapatkan public alarm/peringatan dari masyarakat, namun tetap saja tidak merubah kebijakannya.

Beliau juga menjelaskan faktor penyebabnya yang membuat birokrasi publik ini mengalami organizational slack, antara lain disebabkan oleh; pendekatan/orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, administrasi engineering yang tidak mumpuni dan gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3 P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal. Baca Islamy (1998:23-24).

Coba kita petik yang sudah beliau rumuskan  dangan kondisi faktual saat ini, kita ambil contoh dalam administrasi ASN yang diatur dalam UU No 5 Tahun 2014, semangat pembenahan ASN secara kualitas dan kuantitas dirumuskan dalam UU tersebut, namun bila kita baca naskah akademis untuk UU 5 Tahun 2014 tersebut ada satu dialog teori yang tertinggal atau tidak dimunculkan, yaitu teori equity/keadilan, padahal UU tersebut mengedepankan sistem kompetisi yang fairness dimulai dari sistem rekrutmen hingga penempatan Pejabat Tinggi Negara.

Dialog teori equity yang terlewati pembahasannya adalah dalam pengaturan penempatan Pejabat Tinggi Negara dan Posisi Kepala Daerah yang dapat diisi oleh Aparatur Negara dari anggota TNI dan POLRI, namun sebaliknya Pegawai ASN tidak bisa menjadi Pejabat Tinggi di Lembaga TNI dan POLRI. Secara legal standing TNI dan POLRI diatur oleh perundang-undangan khusus bukan diatur oleh UU ASN. Situasi organizational slack ini saya lebih suka menyebutnya “paracitic meritocracy”, kenapa demikian? Karena ternyata UU 5 tahun 2014 tentang ASN sebagai representasi reformasi ternyata tetap membuka keran untuk masuknya aparatur militer dan kepolisian dalam jabatan publik.

Begitupun dengan kebijakan menghilangkan jabatan Esselonering IV dan III dalam struktur Pemerintahan, saya mendapatkan kesan bahwa kebijakan ini jauh dari penerapan Manajemen Ilmiah, sehingga kebijakan ini sepertinya hanya sebuah kebijakan yang populis semata, saya tidak mengerti apakah hanya untuk kepentingan media darling, seolah kebijakan ini benar 100%, dan kondisi faktual saat ini adalah kondisi yang salah.

Disisi lain, saya juga meragukan kebijakan ini sudah melalui kajian ilmiah dalam bentuk naskah akademik, yang dalam naskah akademik tersebut dimuncullkan dialog perdebatan teoritik antara teori Max Weber dan NPM sehingga secara empiris memerlukan pembubaran struktur rigid dari esselonering dalam struktur organisasi lembaga negara dengan merubahnya menjadi Jabatan Fungsional Tertentu (JFT) atau Jabatan Fungsional Lainnya (JF). Hingga saat ini saya pribadi belum membaca dan sulit mendapatkan naskah akademis dari kebijakan populis ini.

Salah satu bukti kebijakan yang baik adalah disaat masuk dalam proses implementasinya tidak akan banyak kendala, karena kebijakan tersebut telah melalui proses penelitian, pengamatan dan memberikan formula yang tepat. Sebaliknya kebijakan yang populis biasanya hanya akan “merepotkan” untuk di-administrasikan, karena kebijakan ini prematur dan tidak melalui sebuah kajian akademis.

Hal ini biasanya ditandai dengan lahirnya regulasi yang mengatur tentang kebijakan tersebut, seolah-olah tidak cukup diatur oleh 1 (satu) regulasi saja, kita ambil contoh satu kebijakan yang baik yaitu terbitnya Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, disaat diterbitkan selanjutnya mendapatkan jalan yang mulus dalam implementasinya. Kondisi sebaliknya dengan kebijakan penghilangan Struktur Esselon III dan IV dilembaga negara? Banyak kendala bukan?

Dalam artikel ini saya memberikan titik tekan bagi Pejabat Negara siapapun itu, agar berfikir sebelum melahirkan sebuah kebijakan, dan jangan pula melahirkan kebijakan yang tujuannya hanya sebagai media darling, justru sebaiknya Pejabat Negara mengerti untuk melahirkan sebuah Legacy/warisan kebijakan yang bersifat solutif, mudah diadministrasikan, jauh dari perdebatan dan berlandaskan kajian ilmiah berupa naskah akademis yang isinya bukan hanya dialog normatif semata (dialog ttg undang-undang dan norma lainnya), namun harus juga menghadirkan dialog Teoritis dari pendapat para tokoh ilmu dari ilmuwan lawas hingga ilmuwan/akademisi yang ada saat ini. 

Disisi lain Aparatur Negara baik itu ASN, TNI, POLRI, Pejabat Negara, Kepala Daerah, Menteri hingga Presiden adalah aktor internal untuk mewujudkan cita-cita reformasi birokrasi, maka yang perlu disadari adalah bahwa  substansi/ nyawa administrasi adalah kemampuan untuk dapat mengadministrasikan kebutuhan hajat hidup seluruh tumpah darah bangsa Indonesia. Maka mereka sejogjanya dapat menciptakan kondisi organisasi yang berbasis ilmu pengetahuan (ilmiah), lembaga negara yang memiliki organisasi yang ilmiah ditandai dengan sistem merit yang tertulis dalam regulasi dan perundang-undangan yang berbasis naskah akademik.

Maka bila kondisi ini yang terjadi akan dapat meminimalisir kebijakan yang sifatnya populis, karena mereka para pejabat negara  akan melahirkan sebuah kebijakan yang akomodatif, representatif, berkeadilan dan mudah secara implementatif. Sehingga pada akhirnya Wibawa Pemerintah semakin baik sebanding lurus dengan kepercayaan publik/ masyarakat yang meningkat disebabkan “negara hadir” dalam sisi kehidupannya.