Aksi Massa Tuntut Ganti Rugi Lahan Tambang, Membuka Kembali Tabir Masalah dalam Akuisisi PT Bumi Sawindo Permai oleh PTBA? 

Aksi massa warga menuntut ganti rugi lahan yang telah digarap PTBA. (noviansyah/rmolsumsel.id)
Aksi massa warga menuntut ganti rugi lahan yang telah digarap PTBA. (noviansyah/rmolsumsel.id)

Tidak hanya berkaitan dengan ganti rugi lahan, aksi massa di Tugu Monpera Muara Enim juga membuka kembali cerita lama mengenai dugaan masalah dalam akuisisi PT Bumi Sawindo Permai (BSP) oleh PTBA.


Cerita ini, sempat di singgung dalam persidangan dugaan korupsi akuisisi anak usaha PTBA, yakni PT SBS beberapa waktu lalu. Kendati kelima terdakwa yang salah satunya merupakan mantan Dirut PTBA, Milawarma akhirnya divonis bebas. 

Berdasarkan informasi dihimpun, akusisi BSP oleh PTBA dilakukan pada Oktober 2014 di bawah kepemimpinan Milawarma dengan nilai Rp861 Miliar. Proses akuisisi dilakukan melalui anak perusahaan PT Bukit Multi Investa (BMI). Akuisisi mencakup kepemilikan saham 100 persen yang sebelumnya dimiliki pemegang saham PT Mahkota Andalan Sawit (pemilik 99,998 persen saham) dan Mily (pemegang 0,002 persen saham). 

Selain kepemilikan saham, PTBA mengincar lahan HGU perkebunan seluas 8.345,90 hektare dan HGB seluas 346 ribu meter persegi. Tujuan akuisisi itu disinyalir untuk mengeruk perut bumi dan mengambil batu bara yang berada di bawah perkebunan sawit dimana kandungan cadangan batu bara mencapai 500 juta ton. Jumlah itu terbilang cukup untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang Sumsel 9 dan 10. 

Sejak awal, proses akuisisi tersebut mendapat sorotan dari sejumlah aktivis anti korupsi. Pembelian lahan melalui skema akuisisi diduga membuat Pemerintah Kabupaten Muara Enim merugi. 

Pemkab saat itu kehilangan potensi pendapatan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 10 persen dengan nominal lebih kurang Rp 86,1 miliar yang diduga tidak dibayarkan ke pemerintah daerah setempat.

Kemudian, persoalan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sebelumnya harus dibayarkan sebelum terjadi jual beli antara PT BSP dan PTBA dengan total Rp 50 miliar juga tidak masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Muara Enim.

Dugaan lainnya pengalihan izin pengelolaan lahan dari HGU perkebunan menjadi IUP batu bara tidak melalui prosedur yang benar. 

"Seharusnya, ada prosedur bayar pajak BPHTB, perubahan AMDAL, izin reklamasi dan pengurusan izin perubahan lainnya. Tidak langsung serta merta melakukan penambangan," kata Deputi K-MAKI Sumsel, Feri Kurniawan.  

Permasalahan berikutnya adalah tidak semua lahan perkebunan sawit PT BSP sudah dibebaskan. Sebab, status kebun plasma dan tanah milik masyarakat nyatanya banyak yang belum diganti rugi oleh PT BSP selaku pemegang Hak Guna Usaha (HGU). Hal itulah yang saat ini menimbulkan konflik antara warga dengan perusahaan belakangan ini. 

"Makanya ada demo warga itu karena sebagian besar banyak yang belum menerima ganti rugi," ungkapnya. 

Sementara itu, Direktur Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi menilai, proses akuisisi tersebut seharusnya mendapat perhatian dari aparat penegak hukum lantaran disinyalir memiliki berbagai dari kejanggalan didalamnya.

"Proses penggarapan lahan dari HGU perkebunan ke IUP batu bara memiliki proses yang rumit dan panjang. Patut diduga, ada sejumlah prosedur yang tidak ditaati dalam proses tersebut. Apalagi belakangan diketahui, lahan yang ditambang masih ada yang belum dibebaskan," ungkapnya. 

Sehingga, Rahmat mendorong APH dapat melakukan penelusuran terhadap proses peralihan izin tersebut yang memiliki potensi kerugian negara yang cukup besar. 

PTBA dan PT BSP Klaim Status Kepemilikan Saham Sudah Sah

GM Operasional PT BSP, Taufan, mengungkapkan keprihatinan manajemen PT BSP terhadap situasi tersebut dan menegaskan bahwa mereka berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Taufan juga mengkonfirmasi, PT BSP memiliki Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) Nomor 2 Tahun 1994 yang sah, dan bahwa mediasi telah dilakukan sebelumnya oleh DPRD dan Pemerintah Kabupaten Muara Enim.

Sekper PTBA, Niko Chandra, menjelaskan bahwa kegiatan pertambangan PTBA dilakukan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Banko Barat di atas lahan yang sah milik PT BSP dengan bukti kepemilikan hak berupa Sertifikat HGU Nomor 2 Tahun 1994 atas nama PT Bumi Sawindo Permai, yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim. 

"PTBA telah melakukan penyelesaian hak atas tanah dengan PT BSP melalui perjanjian pemanfaatan lahan sementara," kata Niko. 

Menurutnya, kegiatan pertambangan tersebut dalam rangka menjaga pasokan batu bara untuk ketahanan energi nasional dilakukan PTBA dengan melibatkan unsur Pengamanan Objek Vital Nasional, TNI, Kepolisian, dan pemerintah daerah setempat. 

Terkait permasalahan lahan yang menjadi tuntutan warga, Niko menegaskan, perusahaan berupaya menemukan solusi penyelesaian permasalahan terbaik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dia mengatakan, saat ini Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Kecamatan Lawang Kidul telah menginisiasi pembentukan tim bersama yang terdiri dari unsur Forkopimcam, PT BSP dan PTBA yang bertugas untuk melakukan pendataan administratif atas klaim kepemilikan masyarakat yang terletak di lahan SHGU 2/1994 PT BSP.

"PTBA terbuka untuk koordinasi lebih lanjut guna menemukan solusi terbaik sesuai dengan ketentuan hukum," pungkasnya. (*tim)