Kasad: Angkatan Darat Tidak Ingin Seolah TNI Fasilitasi Pengunjuk Rasa

Aksi unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja oleh kaum buruh dan mahasiswa sejatinya dijamin undang-undang. Tapi disayangkan, aksi diwarnai kekerasan ataupun serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum.


Demikian disampaikan pengamat sosial politik, intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta dalam diskusi webinar yang dihelat Indonesian Public Institute (IPI) dengan tema "Pro Kontra Omnibus Law, Kepentingan Siapa?", Jumat (16/10/2020). Diskusi itu diawali prakata oleh Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo, kemudian paparan materi empat pembicara yakni Wakil Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Bidang Konstruksi dan Infrastruktur KADIN yang juga Kepala Bidang Fiskal Perbankan dan Asuransi SOKSI, Irvan Rahardjo; Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban; aktivis mahasiswa, Abdi Maulana; dan moderator Puspita Ayu Putri. Stanislaus menduga, terjadinya kekerasan dan serangan terhadap aparat keamanan termasuk perusakan fasilitas umum terlihat sudah direncankan. Hal itu terbukti dari temuan adanya orang-orang yang menyusup dalam kelompok buruh dan mahasiswa dengan membawa peralatan seperti besi panjang, batu, bahkan molotov. "Alat-alat tersebut dibawa tentu saja bukan untuk mendukung penolakan omibus law UU Cipta Kerja tetapi untuk menciptakan kondisi kacau dan rusuh, dan mengarah kepada delegitimasi pemerintah," jelasnya. Stanislaus menyebut ada tiga kelompok dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang terjadi di berbagai kota di Indonesia. Kelompok pertama adalah mahasiswa dan buruh yang tujuan utamanya murni mengkritisi UU Cipta Kerja. "Kelompok pertama ini sangat jelas identitasnya, tempat kerjanya jelas, kampusnya jelas. Mereka menggunakan hak menyampaikan pendapat yang dilindungi Undang-Undang," kata Stanislaus.