Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel mencatat saat ini lahan di Sumsel banyak dikuasai oleh korporasi, mulai dari Hutan Tanaman Industri (HTI), Perkebunan hingga pertambangan.
- WALHI Sumsel Soroti Potensi Konflik Satwa Liar Akibat Eksplorasi Panas Bumi di Lahat
- Banjir Palembang Kembali Renggut Nyawa, WALHI Sumsel Desak DPRD Kawal Putusan Pengadilan Soal Mitigasi Bencana
- WALHI Sumsel Sebut 94.000 Pohon di Sumsel Rusak Akibat Pemasangan APK Calon Kepala Daerah
Baca Juga
Hal ini terungkap dalam webinar ‘Menciduk Misinformasi Karhutla dan Perubahan Iklim’ yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dengan bekerjasama Google News Initiative, Kamis (14/4).
Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel, Puspita Indah Sari mengatakan saat ini Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menekan emisi karbon, seperti menekan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Pasalnya, hingga saat ini Deforestasi di Indonesia terus mengalami peningkatan dari sebelumnya hanya 1,1 juta hektare per tahun pada tahun 2009 hingga 2013. Kini meningkat menjadi 1,47 juta hektare per tahun di tahun 2013 hingga 2017.
"Padahal seharusnya Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tapi, kini terus meningkat," katanya.
Penyebab deforestasi ini diantaranya pembukaan lahan untuk Hutan Tanaman Indonesia (HTI), Perkebunan hingga pertambangan. Pihaknya juga mencatat untuk di Sumsel sendiri, dari total 9,159 juta hektare, 1,7 juta hektare dikuasai negara. Kemudian, 3,55 juta hektare dikuasai korporasi dan 3,9 juta hektare dikuasai oleh rakyat.
Artinya, sebagian besar lahan di Sumsel itu dikuasi korporasi, dimana rinciannya 3,55 juta hektare tersebut digunakan untuk Kebun Kayu (HTI) seluas 1,5 juta hektare, untuk perkebunan seluas 1,3 juta hektare dan pertambangan seluas 675 ribu hektare. "Industri ekstraktif sangat berdampak pada lingkungan,” tutupnya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang, Yenrizal menambahkan kecenderungan penyebab karhutla di Sumsel berasal dari dua pihak, yakni oknum masyarakat dan oknum perusahaan. Sejak 2015 pemerintah sudah menggugat secara perdata 17 perusahaan dengan denda dan ganti rugi Rp3,9 triliun akibat lahan yang terbakar, baik disengaja, maupun tidak disengaja dengan 75 kasus pidana karhutla yang ditangani aparat.
“Hanya saja transparansi proses penanganannya yang kurang. Selain itu juga konstruksi media tentang karhutla harus kita akui, pemberitaannya sangat insidentil. Banyak yang yang tidak terlalu memahami istilah karhutla dan tidak pernah datang ke lokasi kebakaran. Sehingga berita yang diproduksi tidak komprehensif,” singkatnya.
Ditempat yang sama, Anggota Majelis Etik AJI Palembang, Ibrahim Arsyad mengakui saat ini perkembangan jurnalisme saat ini semakin deras akibat arus digital. Bila tidak mampu mengimbanginya, kerja jurnalis sekarang akan semakin lemah karena terbawa arus. “Sebelum menceburkan diri kita menjadi jurnalis, kita harus memahami beberapa hal, yakni wawasan, skil, dan etik,” kata dia.
Tiga hal ini harus dimiliki oleh jurnalis saat memproduksi sebuah karya jurnalistik yang apik dan tidak menyebabkan misinformasi. Misinformasi akibat wawasan yang kurang, skill yang tidak mumpuni, dan kode etik yang tidak terjaga, akan menyebabkan jurnalis sebagai penyebar misinformasi, bukan pemberi kabar kepada masyarakat.
“Dengan begitu, jurnalis harus meningkatkan literasi diri. Jangan kita menyuruh orang meningkatkan literasi tapi kita sendiri sebagai pencari berita tidak meningkatkan literasi. Literasi dan misinformasi tidak bisa dipisahkan. Bila kita, jurnalis tidak terliterasi dengan baik, kita akan menjadi penyebar misinformasi,” pungkasnya.
Untuk diketahui, webinar ini diselenggarakan agar memberikan perspektif baru terhadap masyarakat, khususnya jurnalis bahwa isu perubahan iklim nyata adanya dan diharapkan tidak salah mengartikan isu perubahan iklim dan memandang sebelah terhadap isu tersebut.
- Pasca Kebakaran Gedung UIN, Perkuliahan Dialihkan ke Daring
- Diduga Korsleting Listrik, Gedung Empat Lantai Fakultas Psikologi UIN RF Palembang Hangus Terbakar
- WALHI Sumsel Soroti Potensi Konflik Satwa Liar Akibat Eksplorasi Panas Bumi di Lahat