Peristiwa Arab Spring sedikit banyak telah mengubah sistem ketatanegaraan negara-negara di wilayah Arab, yang belakangan diketahui masih menyisakan sejumlah persoalan. Namun, tidak untuk Arab Saudi yang sukar dan memang tidak bisa dipaksakan untuk mengubah tatanan pemerintahannya itu sendiri.
- Ini Alasan Ratusan Emak-emak di Sumsel Dukung Ganjar Jadi Presiden
- Mundur dari Golkar, Jusuf Hamka: Politik Keras dan Kasar
- Anggota DPRD Sumsel Ingatkan Pengembalian Aset Negara
Baca Juga
Sebagaimana diungkapkan Gorbachev, terdapat dua hal mendasar untuk menghendaki perubahan. Pertama Glasnost (keterbukaan politik) dan perestroika (restrukturisasi ekonomi). Kedua hal ini diyakini bisa menghendaki perubahan suatu negara, seperti halnya bubarnya Uni Soviet dan Yugoslavia.
Begitu disampaikan Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko Teguh Santosa saat menjadi narasumber dalam sebuah diskusi daring bertajuk "Ujung Musim Semi Arab dan Liberalisasi Saudi" pada Jumat (1/5/2020).
"Jadi pintu masuk untuk perubahan adalah itu glasnost dan perestroika," kata Teguh Santosa.
Ia mengatakan, perubahan sebuah negara akan sangat sulit jika terkesan dipaksakan dengan sistem yang tidak berasal dari nature dan culture negara itu sendiri. Sebab, fakta sejarah menunjukkan negara-negara yang terkesan dipaksakan untuk berubah dengan sistem baru, justru akan menghadapi persoalan yang mengarah pada chaos.
"Jadi waktu tahun 2011 memang harapannya adalah setiap negara akan bertumpu pada natur dan kulturnya untuk menciptakan warna perubahan apa yang diinginkan. Model yang generik saya kira tidak bisa digunakan. Kita jangan jadi seperti Samuel Huntington dan Francis Fukuyama yang mengidolakan satu model, kemudian memaksa model itu untuk diimplementasikan di negeri-negeri yang lain, itu chaos," tuturnya.
Menurut Dosen Hubungan Internasional UIN Syarief Hidayatullah Jakarta ini, Arab Saudi yang secara historis dan geografis merupakan Jazirah Arab tentu memiliki nature dan kulturnya sendiri. Karena itu, bisa saja negara Arab Saudi tidak berubah, meskipun negara-negara di jazirah Arab sekitar tahun 2010-2012 bergejolak mengubah sistem ketatanegaraannya.
"Saya tidak tahu akan sampai kapan, tetapi kita tahu ini adalah sebuah jazirah wilayah yang dia diciptakan dari ekses berakirnya Perang Dunia Pertama dan ekses Berakhirnya Perang Dunia ke-2. Jadi, ini bukan negara yang orisinil menurut saya," ujar Teguh Santosa.
Namun demikian, CEO RMOL Network ini menilai upaya modernisasi Arab Saudi itu tetap akan menyesuaikan natur dan kultur yang telah menyejarah di kerajaan Arab Saudi itu sendiri. Sekalipun, Muhammad Bin Salman Al-Saud (MBS) putera mahkota Raja Salman mengkampanyekan gerakan tersebut dengan misi tertentu.
"Kita bisa berdebat soal Jamal Khashoggi, HAM, tapi itu barangkali Nature dan kultur," ujarnya.
Lebih lanjut, Teguh Santosa berharap, sekalipun ada perubahan pada kultur yang mengarah pada perubahan ketatanegaraan Arab Saudi, sebaiknya terjadi dan bermuara dari internal kerjaan Arab Saudi itu sendiri.
"Saya sih berharap ada sistem koreksi yang sifatnya internal dari kalangan mereka. Sehingga mereka yang bisa memperbaiki. Tetapi, kalau kemudian kita memaksakan untuk menggunakan resep-resep generik, saya rasa enggak ke situ arahnya," ucapnya.
"Nanti terjadi perubahan tetapi perubahan yang akhirnya membuat kita semua jadinya kerepotan. Karena kita masih mau berkiblat ke Mekah dan kita masih mau berkunjung ke dua masjid (Haram dan Aqsa, untuk ibadah)," demikian Teguh Santosa.[ida]
- Serahkan Dokumen Pendaftaran Bacaleg, DPC PKB Muara Enim Target 7 Kursi Dewan
- Respons PDIP Soal Prabowo Sebut Soekarno Milik Seluruh Rakyat Indonesia
- Temukan 2.000 Ranjau Era Perang, Kamboja Tutup Sekolah