Terganjal Status Hutan Lindung, Jalan dan Jembatan Penghubung Kampung di Desa Segamit Tak Kunjung Dibangun

Jalan dan dua jembatan yang menghubungkan  kampung III Danau Ringkih dan Kampung IV Yayasan Desa Segamit Kecamatan Semendo Darat Ulu (SDU). (ist/rmolsumsel.id)
Jalan dan dua jembatan yang menghubungkan kampung III Danau Ringkih dan Kampung IV Yayasan Desa Segamit Kecamatan Semendo Darat Ulu (SDU). (ist/rmolsumsel.id)

Warga Desa Segamit, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Muara Enim mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah untuk membangun jalan dan jembatan penghubung di wilayahnya. Pasalnya, hingga setahun berjalan rencana pembangunan tersebut tak kunjung terealisasi. 


Informasinya, jalan dan dua jembatan yang menjadi penghubung Kampung III Danau Ringkih dan Kampung IV Yayasan Desa Segamit tersebut lokasinya masuk dalam kawasan hutan lindung. Sehingga, pembangunannya terganjal izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. 

Muzammil (35), warga desa setempat mengatakan, jalan tersebut selama ini menjadi akses bagi warga untuk beraktivitas. Mulai dari berkebun, sekolah hingga lokasi pemukiman. "Selama ini, jalannya masih berupa tanah merah. Dua jembatan itu juga kami bangun secara swadaya karena memang kebutuhan untuk menuju lokasi," katanya. 

Menurutnya, di dua kampung tersebut saat ini bermukim sekitar 223 kepala keluarga. Selain sekolah dan perkampungan, di dua kampung itu juga sudah ada fasilitas masjid dan lainnya. Sehingga, akses jalan yang memadai dibutuhkan untuk transportasi. "Jalan ini panjangnya sekitar 14 kilometer. Kami sangat butuh untuk akses keluar masuk desa," bebernya. 

Aktivis Gerakan Masyarakat Peduli Semendo Raya (GMPSR), Aan Ansori mengatakan, akses jalan dan jembatan itu sebenarnya sudah lama dibangun oleh warga. Hanya saja, warga selama ini tidak tahu jika lokasi tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung. 

Aan berpendapat, status hutan lindung seharusnya tidak menjadi persoalan bagi pemerintah daerah untuk membangun jalan. Tinggal mengajukan izin saja ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

"Masalahnya, ada tidak kemauan atau niat dari pemimpin daerah untuk peduli terhadap masyarakat ini. Karena kalau soal status hutan lindung, tidak ada bedanya dengan aktivitas perusahaan Supreme Energy Rantau Dedap  yang lokasinya tak jauh dari kampung," terangnya.

"Kami yang cuma mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari kok dipersulit, pemerintah jangan pura-pura tidak tahu dampak dari keberadaan perusahaan itu terhadap lingkungan beberapa tahun ke depan akan seperti apa," tambahnya lagi. 

Terpisah, Sekda Muara Enim, Yulius, mengatakan karena jalan tersebut masuk kawasan hutan lindung tentu pemerintah tidak berani menganggarkan biaya pembangunan untuk jalan tersebut, pastinya akan berbenturan dengan hukum.

Proses pengajuan izin melintasi hutan lindung ini cenderung susah, kalau izin lainnya seperti hutan konservasi, hutan produksi itu memang mudah, untuk permasalahan hutan lindung ini susah.

"Karena kawasan hutan lindung ini biasanya begitu diizinkan, maka semua orang akan masuk ke sana, illegal logging menjadi tidak terhindarkan, begitu orang lain masuk tentunya kayu-kayu besar jadi sasaran, itu juga antisipasi," ujarnya.