Pembangunan di kota Palembang berlangsung pesat beberapa tahun terakhir. Sayangnya, hal itu berbanding lurus dengan angka kemiskinan yang terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk yang kini mencapai 1.668,85 ribu jiwa.
- Kemenag Terbitkan Format Buku Nikah Terbaru
- Pergerakan Penumpang Tertinggi Terjadi di Angkutan Penyeberangan
- Sri Lanka Ciptakan Peti Mati dari Kardus untuk Korban Covid-19
Baca Juga
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik hingga tahun 2020, sejak tahun 2018, pada awal periode kedua kepemimpinan Wali Kota Harnojoyo - Wawako Fitrianti Agustinda, masyarakat miskin berjumlah 179,32 ribu jiwa atau sekitar 10,95 persen dari jumlah penduduk.
Pada tahun 2019, jumlah masyarakat miskin di kota Palembang berjumlah 180,67 ribu jiwa atau 10,90 persen dari jumlah penduduk, dan pada tahun 2020 jumlah masyarakat miskin di kota Palembang berjumlah 182,61 ribu jiwa atau 10,89 persen dari jumlah penduduk.
Kemiskinan memang menjadi tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan Pasal 34 UUD 1945 setelah amandemen pada tahun 2002 yang menyebutkan :
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; dan (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Berbagai teori telah dikemukakan, begitupun upaya praktis telah dilakukan oleh pemerintah untuk menjalankan amanat Undang-Undang tersebut. Lantas mengapa masyarakat miskin selalu ada?
Seperti yang disampaikan Holtman (1978), dimana terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kemiskinan, pertama adalah faktor individu, mulai dari mental, psikologi, dan motivasi.
Kedua adalah kultur atau lingkungan, dimana masyarakat miskin kota ini tinggal di lingkungan serta budaya yang tidak memberikan mereka kesempatan untuk maju.
Lalu yang ketiga adalah lembaga-lembaga modern, dalam hal ini pemerintah bersama stakeholder lain yang juga tidak memberikan ruang bagi masyarakat miskin kota ini untuk mengembangkan diri dan kemampuan.
Pada poin terakhir, kajian yang muncul adalah pemerintah ataupun lembaga terkait yang seharusnya memberikan fasilitas terhadap masyarakat miskin ini, terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.
Sehingga pelayanan sosial yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya saja dari sisi pendidikan yang menjadi salah satu instrumen utama untuk mengatasi kemiskinan.
Kalaupun masyarakat miskin ini tidak bisa mengikuti pendidikan sesuai dengan kurikulum dasar karena ketidakmampuan mereka, maka pemerintah seharusnya menyiapkan sarana untuk meningkatkan keterampilan, sebagai sarana meningkatkan kualitas hidup.
"Pemerintah wajib menyediakan bantuan dan rehabilitasi agar mereka tidak terus-terusan menjadi pengemis. Berikan pelatihan kerja, berikan lapangan pekerjaan bagi mereka," kata pengamat Bagindo Togar.
Hanya saja, komitmen untuk pengentasan kemiskinan ini belum terlihat harmonis pada lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dan punya kewenangan, meskipun kemiskinan tak bisa dilepaskan dari dampak pembangunan dan majunya perkotaan.
Pemerintah sebetulnya punya jawaban dengan memberikan kartu pra kerja, namun Bagindo melihat upaya ini belum maksimal.
"Pemerintah harus ada dan terlibat dalam proses (rehabilitasi masyarakat miskin) itu, turun langsung, melihat langsung dan memastikan mereka mengakses pra kerja, bekerja sama dengan semua pihak juga dengan masyarakat untuk setidaknya memaksimalkan pengurangan angka kemiskinan ini," kata Bagindo.
Sebab meningkatnya kemiskinan di kota Palembang semakin terlihat nyata di berbagai sudut kota, utamanya di persimpangan traffic light yang berada di pusat kota. Meski harus diakui, kemiskinan yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, diperparah dengan pandemi yang menghantam.
Warga miskin kota terpaksa putar otak untuk menyambung hidup, asal dapat makan. Mereka rela turun ke jalan, menjadi badut, menjadi manusia silver, menjual tisu atau bahkan secara langsung mengharap iba dari orang lain ataupun pengendara di persimpangan traffic light.

Itu pula yang dilakoni oleh Ariyanto, bersama keluarganya. Ia melawan rasa sesak dan panas dengan menjadi badut atau yang disebutnya mbadut di salah satu persimpangan Traffic Light kota Palembang.
Kepada Kantor Berita RMOLSumsel, ia bercerita jika sebelum ini sudah mencoba berbagai peruntungan untuk menyambung hidup. Mulai dari berjualan di kawasan Benteng Kuto Besak (BKB), namun ia selalu berbenturan dengan aparat ataupun preman di lokasi itu.
Ia juga pernah menjajal menjadi manusia silver beberapa waktu ke belakang. Saat menjadi manusia silver, Dalam sehari Ariyanto bisa mendapatkan penghasilan berkisar Rp 60 – 120 ribu. Namun pendapatan tersebut harus dipotong biaya cat untuk bahan baku menjadi manusia silver.
Namun lagi-lagi, Ariyanto tak beruntung. Ia mengaku ditangkap dan diamankan Satpol PP. "Aku dulu sopir bis, tapi sesudah bis dilarang operasi, mulai susah (cari makan)," ungkap warga Kecamatan Bukit Kecil ini.
Menolak untuk menyerah, Ariyanto kemudian mengajak keluarganya. Istri dan dua anaknya akhirnya ikut turun ke jalan membantu ekonomi keluarga. Berjualan tisu di lokasi yang sama, di simpang traffic light.
"Sebelum pandemi, sempat jualan tisu di BKB jugo, tapi pas lah sepi, kami pindah ke lampu merah," timpal Sadia, istri Ariyanto. Dengan penghasilan yang pas-pasan itulah, mereka juga berupaya menyekolahkan salah satu dari empat anak mereka.
Diakhir ceritanya, Ariyanto sangat berharap kepada pemerintah agar lebih memperhatikan kehidupan orang-orang seperti mereka. Menurut Ariyanto, meskipun pernah beberapa kali terjaring razia dan mungkin akan kembali terjaring di waktu yang akan datang dirinya akan tetap mbadut.
“Tidak ada pilihan lain, yang penting halal, karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kan sekarang susah cari gawe (pekerjaan),” ungkapnya.
- Jane Shalimar Meninggal Dunia Akibat Covid-19
- Dua Kendala yang Dihadapi dalam Pembagian Bansos
- Korsel Catat 109 Ribu Kasus Covid-19 Sehari