Polemik Penerimaan PPPK Palembang, Banyak Honorer Dilepas, Pengaruhi Elektabilitas Petahana di 2024?

Walikota Palembang, Harnojoyo (kiri), Wakil Walikota Palembang, Fitrianti Agustinda (tengah) dan Sekretaris Daerah Palembang, Ratu Dewa (kanan). (ist/rmolsumsel.id)
Walikota Palembang, Harnojoyo (kiri), Wakil Walikota Palembang, Fitrianti Agustinda (tengah) dan Sekretaris Daerah Palembang, Ratu Dewa (kanan). (ist/rmolsumsel.id)

Proses Penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kota Palembang menimbulkan polemik dalam beberapa waktu ke belakang.


Pemerintah dinilai tidak transparan dalam proses ini sehingga banyak honorer dan warga yang merasa dikesampingkan.

Ribuan honorer yang banyak ditinggalkan dalam proses ini, meskipun telah tahunan bekerja di Pemkot Palembang, disebut akan memberi pengaruh bagi para calon kepala daerah yang muncul dari petahana. 

Hal ini diungkapkan oleh pengamat Bagindo Togar kepada Kantor Berita RMOLSumsel. "Suara honorer ini tidak bisa dikesampingkan, sehingga jelas akan mempengaruhi pencalonan Wali Kota kedepan," ungkapnya. 

Menurut Bagindo, permasalahan honorer yang kemudian kalaupun benar, sengaja tidak diloloskan atau dibuka formasinya untuk PPPK, oleh Pemkot Palembang tentu akan menjadi preseden buruk. Selain faktor elektabilitas, tingkat kepercayaan para honorer ini kepada pimpinan akan jauh berkurang.

Dari sisi profesional, terlebih setelah mengetahui mereka tidak lulus dalam seleksi PPPK maka sudah tidak akan lagi fokus bekerja. Sementara di sisi lain, kerabat dan anak pejabat Pemkot Palembang malah lulus dalam proses ini.

"Mereka (tenaga honorer) ini akan mempersiapkan diri untuk mencari pekerjaan berikutnya, sehingga secara psikologis tidak akan fokus dalam pekerjaan saat ini, pelayanan terhadap masyarakat akan berkurang," jelas Bagindo. 

Bagindo Togar 

Padahal di sisi lain, tenaga honorer atau non PNS di daerah kehadirannya sangat membantu pemerintah dalam tugas dan tanggung jawabnya melayani masyarakat. 

Menurut Bagindo, turunnya tingkat kepercayaan ini merupakan konsekwensi dari polemik yang terjadi saat ini yang menjadi sorotan, yaitu lulusnya menantu Walikota Palembang Harnojoyo dan anak dari Sekda Palembang Ratu Dewa. Termasuk prinsip fairness dan transparansi yang dianggap belum berjalan di Pemkot Palembang.

"Di luar itu, kita juga mendengar suara dari masyarakat yang mempertanyakan transparansi dalam penerimaan PPPK ini, sehingga masyarakat menilai pejabat ini tidak fair dan transparan," sambung Bagindo. 

Pertimbangan untuk mengisi kebutuhan ataupun formasi penerimaan di tingkat daerah menurut Bagindo dikembalikan lagi kepada pemerintah daerah. Sehingga menurutnya pemerintah pusat tidak bisa dijadikan bumper ataupun alasan dalam polemik penerimaan PPPK di kota Palembang kali ini. 

Justru yang terbaik menurutnya adalah pejabat terkait memberikan klarifikasi dan seharusnya sejak awal melakukan proses rekrutmen yang fair dan transparan. 

"Sehingga tidak menjadi polemik di tengah masyarakat, apalagi honorer yang nyatanya sudah tahunan bekerja di Pemkot Palembang tetapi tidak ada formasi, atau bisa saja sengaja dibuang lewat proses penerimaan PPPK ini," jelasnya. 

Apabila proses penerimaan dilakukan secara fair dan transparan, maka kesempatan bagi warga kota Palembang akan menjadi sama. 

Terlebih seperti diberitakan sebelumnya, menurut Bagindo, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kota Palembang menjadi yang tertinggi di Sumsel dengan 10,11 persen.

"Penerimaan ini tidak menjawab kebutuhan masyarakat akan pekerjaan, ataupun di sisi lain kita belum melihat upaya Pemkot Palembang mengurangi tingkat pengangguran ini yang kemudian berimbas pada kesejahteraan warganya," jelas Bagindo.