PGRI Sumsel Juga Mundur dari POP Kemendikbud

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumatera Selatan (Sumsel) telah sepakat, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah, mengundurkan diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) yang dilaksanakan oleh Kemendikbud.


Mundurnya dari POP Kemendikbud itu diungkapkan langsung oleh Ketua PGRI Sumsel Ahmad Zulinto, Selasa (28/7/2020).

"Guru penggerak itu bukanlah hal yang baru, jadi semenjak menjadi guru itu kita sudah menjadi penggerak," ucap Zulinto.

Menurut Zulinto, semua guru sudah melaksanakan banyak hal. Jadi tidak ada suatu hal yang baru, guru itu pemimpin, guru melaksanakan pembelajaran, guru melakukan motivasi, guru juga yang ikut memberikan pendidikan lain-lainnya.

"Semua itu sudah termasuk pada program organisasi penggerak yang dilaksanakan oleh kemendikbud," ujarnya.

Kordinasi yang kurang berjalan dengan baik, kata Zulinto, antara Kemendikbud dengan PGRI berkaitan dengan guru penggerak. Maka PGRI menarik diri atau mengundurkan diri, tidak bergabung dengan POP yang dilaksanakan oleh Kemendikbud.

Ada hal-hal yang membuat PGRI tidak sepakat, utamanya dalam pertanggungjawaban dalam pembiayaan.

"Artinya ini tidak bisa kita laksanakan secara cepat, tentunya ini kita perlu diskusi, perlu pemahaman yang lebih lanjut tentang POP," terangnya.

Kalaupun ada di daerah, guru-guru diminta untuk mendaftarkan, Zulinto mempersilahkan saja mendaftarkan.

"Tapi Alhamdulillah, nampaknya Menteri Pendidikan akan mengajak berdiskusi lagi, dengan organisasi-organisasi besar anaara lain NU, Muhamadiyah dan PGRI," tambahnya.

Berkaitan dengan POP ini, memiliki banyak alasan, PGRI sebetulnya mendesak menteri dalam diskusi beberapa waktu yang lalu.

"PGRI Sumatera Selatan dengan ini menyampaikan masih banyak PR-PR Kemendikbud yang harus diprioritaskan, antara lain rekrutmen guru, dan tenaga pendidik kita," tegasnya.

Guru secara rasional kekurangannya sudah sangat luar biasa, Sumatera Selatan juga sama. Maka dari itu ia berharap, baiknya Menteri Pendidikan mengurusi masalah kekurangan guru terlebih dahulu, dibanding dengan POP tersebut.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lukman Haris selaku Pengamat Pendidikan kota Palembang ia menyampaikan bahwa, terkait adanya POP yang dilaksanakan oleh Kemendikbud itu sebaiknya dievaluasi lagi.

Karena dana sebesar Rp 567 miliar itu, nampaknya tidak akan menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapai seperti sekarang, khususnya bidang pendidikan karena dampak pandemi Covid-19 ini.

"Sekarang ini kan yang sedang bermasalah disekolah-sekolah antara guru, wali murid siswa, yakni terkait pembelajaran daring," tutur Lukman.

Dengan adanya pembelajaran lewat daring ini, kata Lukman, terutama daerah-daerah yang pinggiran itu internet nya tidak kuat, ditambah lagi bagi orang tua yang tidak mampu untuk membeli kuota.

"Itu kan perlu biaya, kemudian anak-anak pada saat belajar daring itu harus didampingi oleh orang tua, berarti orang tua nya harus tidak bekerja," jelasnya.

Yang seharusnya dilakukan oleh Kemendikbud itu, bagaimana caranya supaya pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada masa pandemi Covid-19 ini dapat terlaksana dengan baik.

"Artinya dana itu alangkah baiknya diberikan untuk memperkuat internet misalnya, atau mungkin dipergunakan untuk pemberian bantuan kuota, atau digunakan untuk fasilitas sekolah-sekolah, nah itu yang seharusnya segera di atasi oleh Kemendikbud," imbuhnya.

Kalau program POP ini, terang Lukman, kemungkinan akan berjalan apabila situasi proses belajar mengajar yang saat sekarang ini normal.

"Sekarang ini kan proses belajar mengajar sedang tidak normal, semuanya dipastikan harus melalui daring, kalaupun tidak dari dalam jaringan (daring), kalaupun tidak dari daring harus luar jaringan (luring) kunjungan kesekolah, nah itu semuanya membutuhkan biaya-biaya tambahan," pungkasnya.

Ia berharap, biaya sebesar 567 miliar itu saja yang digunakan, untuk mengatasi permasalahan pembelajaran daring ini, lebih baik POP ditunda terlebih dahulu. [ida]